Perceraiannya tidak pernah membuatnya lega. Tetapi, ia sudah patah hati jauh sebelum perceraiannya terjadi dan ketukan palu setelah sidang perceraiannya hanya menambah sedikit luka di hatinya yang sudah tinggal remahan. Tapi, dalam hatinya Farras sadar kalau mereka lebih baik bercerai. Cinta tidak pernah cukup untuk menjadi landasan pernikahan. Farras hanya terlalu terlena dengan perasaannya yang meluap-luap, melambungkannya dan ketika kehidupan menamparnya keras, ia tersadar kembali dan jatuh ke bumi.
Seluruh asanya terhempas, menyisakannya bagai cangkang yang kosong. Ia tidak pernah menyangka satu orang dapat membuatnya bahagia dan merebutnya ketika melangkah pergi dari kehidupannya. Atau lebih tepatnya, ia yang meninggalkan kehidupannya bersama pria itu saat tahu semuanya tidak akan sama lagi.
Pengar selalu menjadi sahabatnya setelah perceraian. Apalagi yang dapat dilakukannya saat seluruh kehidupannya hancur? Setidaknya ia dapat melupakan seluruh masalahnya saat kepalanya terasa ringan dan tubuhnya seperti melayang. Dan itu pula yang terjadi semalam. Farras tidak tahu berapa banyak alkohol yang melewati tenggorokannya. Atau sekedar apa yang ia katakan pada Rhea yang selalu mencoba mencuri gelas minumannya.
Pengar dapat dipastikan bukan sahabat yang baik, karena kepalanya yang tidak berhenti terasa nyeri dari berbagai sisi. Seluruh rasa sakit itu melintasi matanya yang kini seperti ditusuk ratusan jarum dan berkali-kali. Oh, God, Farras berkali-kali berjanji tidak akan minum berlebihan saat pengar memberikan kunjungan, tetapi seakan seluruh ingatannya akan terhapus begitu sesuatu terasa berat. Salah satu dari dua janji yang diingkarinya. Yang satu lagi tentu saja janji pernikahannya.
"Kepala gue, kepala gue. Rasanya kepengin gue copot dan tukar tambah. Ada marketplace yang jual gak sih?" Farras sebenarnya bertanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak mengharapkan jawaban dari siapa pun yang ada di dalam kamarnya. Tetapi, suara permepuan membuat matanya terbuka lebar.
"Lo kalau mabuk inget umur makanya, Ras."
"Lo ngapain di sini, Rhe?" Farras mengerang saat kepalanya kembali sakit.
"Menikmati penderitaan lo lah, buat apa lagi memangnya?"
Farras menapatnya judes. Suara perempuan itu lebih menyebalkan di saat seperti ini. "Kata dan yang lain mana?"
"Sarapan."
"Terus lo nungguin gue sampai bangun? Aw, lo manis banget, Rhe." Rhea melempar wajahnya dengan bantal, tetapi terasa seperti batu bata yang bersarang di sana. Ia kembali mengerang.
"Jangan mimpi lo. Gue sarapan duluan pagi tadi karena Janu datang dan mereka sekarang jaga anak-anak sementara gue dihukum dengan nemenin lo karena gak bisa batesin minuman." Gerutu Rhea sebal. Perempuan itu tampak tidak terima disalahkan atas mabuknya semalam. Farras ingin tertawa tetapi apa pun yang berhubungan dengan menggerakan tubuhnya, membuat semuanya terasa menyakitkan.
"Gue janjiin Kata berenang sebelum pulang."
"Then, chop-chop. Lo harus segarin muka dan mandi. Bau muntahan lo tercium sampai sini."
"Rhe, gue bilang apa aja semalam?" Rhea melesakkan bokongnya di ranjang. Tidak mau melihat ke arahnya dan Farras mulai merasa ngeri akan apa yang mungkin keluar dari mulutnya. Ingatannya kelewat kusut untuk mengingat apa yang terjadi semalam selain satu gelas ke gelas lainnya. "Rhe?"
"Cuma alasan lo cerai. Selain soal anak." Cicit perempuan itu. Ia mengembuskan napas berat. Salahnya yang memilih minum banyak tetapi justru bersama Rhea. Mulut besarnya akan mengeluarkan apa pun agar beban itu dapat terasa ringan, meskipun sedikit.
"Can we keep this between us, Rhe?"
"Ya, bisa. Tapi, lo harus bicara sama orang lain, Ras. Apa yang mereka lakukan keterlaluan-"
"Rhe, kita bicarakan nanti, okay? Kepala gue gak bisa diajak bekerjasama banget sekarang."
Rhea mengalah dan tidak mencecarnya lagi, membiarkannya merasakan hening untuk sekejap sebelum sakit kepala kembali mengambil alih.
**
Kalau biasanya ibu yang selalu harus mengingatkan anaknya perkara barang-barang sebelum pergi, Kata adalah kebalikan dari semuanya. "Ma, sudah dicek semua? Ada yang ketinggalan gak?" nah, seperti pertanyaan yang baru saja ditanyakaan oleh Kata ini. Ia akan mendengarnya berulang kali hingga suaranya lemah dan pasrah.
"Gak ada, Ta. Sudah semua."
"Mama bilang gitu terus, tapi tiap kali pergi ada aja yang kelupaan." Kata melakukan inspeksi di kamar yang mereka tempati. Mulai dari mengangkat bantal, menggeser ranjang agar dapat melihat ke sela-sela ranjang. Juga setiap sisi yang mungkin membuatnya lupa untuk mengecek. Dan wajahnya akan mengesalkan seperti sekarang jika berhasil menemukan sesuatu, "Tuh 'kan? Ada yang ketinggalan." Kata mengangkat charger ponselnya yang berada dalam laci nakas.
Tapi, hal ini justru membuatnya terenyak. Bagaimana ia membiarkan Kata yang lebih banyak mengurusnya dan memaksa anaknya itu untuk lebih dewasa. Jika diingat-ingat, Farras bergerak seperti robot karena kebiasaan ketimbang menaruh perhatian pada sekitarnya.
"Sorry, Ta. Mama nanti bikin lis apa aja yang dibawa, supaya bisa dicek lagi sewaktu pulang."
"Sudah kan? Gak ada lagi? Yuk, Om Leo kasihan nunggu di bawah, yang lain sudah jalan duluan soalnya." Kata menepuk kedua tangannya dengan bangga. Ransel Kata sudah berada di punggungnya.
4/9/21
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Cooperative Love (FIN)
RomanceMay contain some mature convos & scenes. Farras percaya hidupnya akan baik-baik saja selama ia memiliki Kata, putrinya. Hidupnya penuh dengan kesibukan, mencoba menjadi sosok ibu yang tidak pernah dimilikinya, pekerjaan yang dicintainya serta berte...