Bab 7 : Bertahan itu sulit

1K 210 119
                                    

Ale duduk termenung memandang ke arah jendela sambil memegang erat cangkir berisi kafein di dalamnya. Ale ingat siapa yang membuatnya menyukai minuman dengan rasa pahit ini. Ale ingat siapa yang mengajarinya bahwa kehidupan itu layaknya kopi, bisa terasa pahit. Namun juga bisa tergantung bagaimana kita menikmati kopi itu.

Untuk Ale saat ini, ia sedang merasa bahwa kopi yang ia nikmati terasa pahit. Sangat pahit sampai rasanya ia enggan meminumnya lagi. Ale ingin bisa kembali menikmati kopi itu lagi. Namun ia belum menemukan bagaimana cara menikmati kopinya agar tidak terasa pahit.

"Kopinya ga enak?"

Ale tersadar dari lamunannya dan memandang sosok pria di hadapannya yang sedari tadi memandangnya dengan senyuman meneduhkan. Sontak Ale menggeleng dan tersenyum kecil. Bahkan nyaris tak terlihat ketika senyuman itu ada di wajahnya.

Ale melipat bibirnya ke dalam dan menghela napas panjang.

"Maaf. Kamu pasti bosan." Ale mengeluarkan beberapa kata sejak dua puluh menit yang lalu ia sibuk dengan dunia dan pikirannya.

Elang. Pria itu hanya tersenyum seolah tidak mempermasalahkan ucapan Ale barusan. Ia hanya bertindak mengulurkan tangannya ke arah cangkir Ale dan menggesernya ke samping.

"Cewek semanis kamu kayaknya ga cocok dengan minuman seperti ini."

Ale tiba-tiba tersenyum saat alam bawah sadarnya mengajaknya berkelanan jauh pada masa lalunya bersama Randu.

"Aku pengen ngajarin kamu minum kopi. Biar kamu tahu, hidup itu ga selamanya manis."

Ale seolah jelas mendengar suara Randu berbisik di telinganya. Bagaikan kaset lama yang masih menghantui otak kecilnya. Dan jujur harus Ale akui bahwa ia masih begitu setuju dengan perkataan Randu. Bukannya ia meremehkan ucapan Elang. Namun ucapan pria itu terdengar seperti kemunafikan untuk Ale.

Cewek semanis aku katanya.

Bukankah ucapan Elang terdengar sangat pasaran seperti cowok-cowok pada umumnya yang ingin menarik perhatian dari lawan jenisnya.

"Elang...,"

"Ya?"

"Kamu tahu Randu, kan?"

"Iya. Aku tahu dia. Sempat nyapa di studio juga kan tadi?" Elang menyertai ucapannya dengan anggukkan.

"Aku sama dia punya hubungan dari sekadar teman kerja."

Elang menghentikan ketukan jarinya di atas meja. Ucapan Ale nyatanya membuatnya sedikit terusik. Buktinya ekspresi wajah Elang menunjukkan ketidaknyamanan setelah pernyataan Ale barusan. Namun sekali lagi, untuk mengesankan Ale, Elang buru-buru mengganti ekspresi wajahnya dan akhirnya menunjukkan senyuman manis seperti biasa. Seolah hal itu sama sekali tidak mengganggu hatinya. Ale tidak bisa berkata-kata.

"Oke." Elang hanya menjawab dengan santai sambil sedikit terkekeh. "Aku ngerti maksud hubungan kamu akan menjurus ke arah apa." Elang menjeda kalimatnya. Seperti sedang memilah kata demi kata yang akan ia ucapkan pada Ale.

"Terus? Apa kamu ga terganggu dengan itu?"

Elang tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Engga. Kecuali kamu sama dia masih berhubungan. Jika begitu aku bisa mundur."

Ale nampak terkejut mendengarnya. "Kamu bodoh."

"Kenapa gitu?"

"Kamu harusnya terkejut. Marah, tersinggung." Ale tidak puas dengan jawaban Elang. Bukan itu yang Ale harapkan dari kejujurannya pada Elang tadi. Ale mengharapkan kemarahan Elang. Tapi apa ini? Apa yang Ale dapatkan?

Randu-Ale [Wenyeol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang