Kata banyak orang, habitat adalah
tempat hidup yang alami (bagi tumbuhan dan hewan). Tapi apakah habitat hanya untuk tumbuhan dan hewan? Tidak adakah tempat untuk aku si manusia? Manusia ini lelah bergumul dengan kawanannya, manusia ini lelah dengan saling bunuh karakter dengan kawanannya.Kata banyak orang, dalam dunia hewan adanya berburu atau di buru. Bukankah tidak beda dengan dunia manusia. Hanya saja dalam dunia hewan jarang mereka akan saling menyakiti kawanannya, kecuali memang mereka terancam bahaya. Namun dalam dunia manusia yang katanya diberkahi akal budi, mereka seakan terbiasa untuk saling menyakiti untuk mendapatkan posisi.
Habitat untuk tumbuhan, tidak pernah terdengar cerita bahwa mereka bertengkar apalagi marah. Mereka selalu membawa keteduhan bagi yang berlindung dibawahnya, membawa kehidupan bagi yang mau merawatnya. Dalam dunia manusia ada, namanya keluarga. Keluarga selalu mempunyai cinta untuk membawamu pulang.
Manusia ini berbeda. Dia butuh habitat dimana dia bisa berekspresi, dimana dia bisa menari tanpa henti, tanpa takut disakiti atau menyakiti. Sayangnya manusia ini harus terbelenggu oleh kondisi dimana menari bukanlah jalan yang bisa dia pilih karena harus terhenti, tanpa sempat memperoleh dukungan apalagi atensi
Manusia ini sempat menyerah sempat pula tidak lagi peduli, akan literasi. Dia hanya tahu bagaimana harus menjaga hati agar tidak dipenuhi oleh iri hati. Iri karena selalu melihat ke atas, di mana ada banyak dukungan dan atensi yang dia inginkan namun tak dia dapatkan.
Manusia ini hanya mampu gigit jari saat ditarik sana sini untuk mendukung dengan penuh semangat untuk impian orang lain, yang sebenarnya juga dunia imajinatif yang tidak menjanjikan masa depan. Namun manusia ini kembali harus sadar diri bahwa dia bukanlah orang yang berprestasi yang harus mendapat atensi.
Tuhan tak pernah janji, langit selalu biru. Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata. Namun dia berjanji untuk selalu menyertai. Dia menyertai manusia ini meski harus tergesek, tergores, retak bahkan sempat pecah. Dia tetap menggenggam erat manusia ini seperti barang yang rapuh agar tidak terhilang oleh angin kepasrahan.
Akhirnya ketika tiba waktunya manusia ini untuk benar-benar dalam habitat yang tepat. Habitat yang bernama dunia tanpa koma. Dunia yang memaksanya untuk terus menari diatas kertas, untuk menceritakan apa yang dialaminya dalam dunia manusia, untuk menjadi sebuah fiksi.
Bukankah itu berarti si manusia harus berterima kasih pada sebuah perjalanan panjang menemukan habitat yang ada saat ini?
#Day6
#JumlahKata372
#30HSMK
#SeiraAsa
#EventSeiraAsa
#MenulisKebaikan
#BelajardanBertumbuh
KAMU SEDANG MEMBACA
Zindagi - Solilokui lika liku kehidupan
PoesíaSenandika atau solilokui tentang apa yang ditemui, apa yang dirasa, dalam lika liku kehidupan, yang tidak mungkin di suarakan, namun ingin diungkapkan. Suara hati yang terdalam, yang mungkin terlalu kasar, namun kini diperhalus lewat sastra.