Chapter 22

2.6K 183 7
                                    

Cailsey’s View         

           Satu hal yang membuatku sangat lega pagi ini adalah, aku mendapatkan fase bulananku. Setelah hampir empat hari bergumul dengan ketakutan dan kekhawatiran yang sangat mengganggu, aku akhirnya merasa bebas kembali. Aku sudah memilih untuk sepenuhnya melupakan tentang kekosongan di jari manisku dan berkata pada diri sendiri bahwa di masa depan, jari itu akan terisi kembali dengan cincin yang lain. Lagipula, Justin telah menyedot seluruh perhatianku sehingga aku tak dapat memikirkan apapun selain dia, dan pekerjaanku.

            “Dramaku benar-benar hancur..”Calis sudah berada di sini sejak pukul delapan pagi, satu jam lebih lama dari biasanya. Namun aku tetap menunggunya agar kami bisa sarapan bersama.

            “Apa yang terjadi? Kau tiba-tiba kembali ke jati dirimu yang dulu dan mengacaukan dialognya?” aku bertanya dengan nada datar sambil menyeruput tehku.

            “Tentu saja tidak!” Calis mendengus dan menatap ke dinding untuk sesaat. “Kau ingat tentang lelaki yang mengajakku berkencan beberapa minggu yang lalu?”

            “Bagaimana aku bisa lupa?”

           Dia tersenyum kecut. “Aku terus menolaknya. Dan ketika kelompok dramaku tampil, dia mengacaukannya dengan naik ke panggung dan berlutut di depanku, di hadapan banyak orang!”

           Tanpa bisa ku tahan, aku telah tersenyum geli. Bisa ku bayangkan bagaimana kacaunya situasi itu. “Kau pasti sangat malu.”

           Calis mengangguk lemah dan tubuhnya merosot di kursi, “Sangat. Dia bernyanyi untukku.”

            “Oh!” aku menutup mulutku dengan gestur angkuh yang sengaja aku buat. “Bukankah itu romantis?”

           Calis langsung melemparkan serbet makan ke arahku dan aku tak mampu lagi bertahan agar tidak tertawa. “Itu menjijikkan, Cailsey! Coba bayangkan jika itu terjadi padamu!” dia menggeser piringnya yang kosong menjauh dan menompang dagunya di tangan. Dari apa yang aku lihat, sepertinya Calis benar-benar tidak mampu melupakan peristiwa tragis itu.

           Aku segera berdehem dan kembali menjadi diriku semula, tenang dan dingin. “Lalu apa yang terjadi?”

            “Kau tidak mengejekku lagi?”

            “Tidak.” tegasku serius.

           Calis mengembuskan napas kasar dan satu tangannya menggambar pola lingkaran di atas meja. “Suaranya sangat merdu, Cailsey, aku harus mengakuinya. Awalnya aku mengira guru bahasaku akan marah, tapi ternyata dia dan seluruh temanku ikut menikmati momen itu. Menikmati penderitaanku. Sementara bocah gila itu terus bernyanyi, aku sudah merasa pucat dan hampir muntah karena malu. Terlebih ketika dia mengeluarkan bunga dan mengatakan cintanya di hadapan banyak orang.” Calis menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menggeleng-gelengkan kepala. Melihat hal itu, aku menjadi iba.

           Tanpa bisa ku cegah,Neil muncul di pikiranku, bagaimana ia terlalu berusaha menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan yang malah membuatku muak. Calis pastinya sangat tidak menyukai lelaki yang telah menghancurkan dramanya itu. Semerdu apapun suaranya, laki-laki itu telah kehilangan simpati dari Calis. Aku jamin.

            “Jadi kau menerimanya?” aku bertanya dengan nada lebih lembut.

            “Tidak.” dia kembali menatapku. “Aku berlari meninggalkan panggung dan membiarkan dia mematung disana. Guru dan hampir seluruh temanku kecewa dan sangat mengasihaninya, mereka tidak menyukai tindakanku.”

Perfect TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang