Chapter 48

1.8K 195 12
                                    

Luka akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu.

Awalnya aku percaya dengan kalimat itu, namun sekarang, aku sadar bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Yah, beberapa luka memang sembuh setelah hari demi hari terlewati. Seperti halnya kematian orang tuaku. Aku tidak lagi merasa sedih ataupun kecewa saat kembali mengingat mereka. Dan rasa pedih di hatiku akan kepergian mereka telah berganti dengan kelegaan. Karena setidaknya, aku tahu bahwa kini ayah dan ibuku berada di tempat yang tepat.

Lalu luka dan sakit hati yang kurasakan saat harus putus cinta. Ketika seseorang yang kau cintai berjalan keluar dari hidupmu, itu akan terasa menyakitkan. Kau akan mengingat setiap kenangan yang telah kau lewati, dan saat menyadari bahwa hal itu takkan pernah terulang lagi, rasa sakitnya akan terasa berkali-kali lipat lebih berat. Namun, seperti yang orang-orang bilang, luka akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Begitu pun dengan lukaku saat hubunganku dengan seorang pria kandas. Aku akan melupakannya, melupakan bahwa aku pernah mencintainya dan melalui hidupku begitu saja seolah pria-pria itu hanyalah selingan semata.

Tapi, ada beberapa luka yang tak bisa disembuhkan oleh waktu. Salah satunya, Courtney.

Selama ini aku berpikir bahwa aku telah melupakan kejadian itu, aku tidak merasakan apapun saat melihat bekas luka jahitan di bahuku setiap hari. Aku tidak merasa canggung ataupun takut saat kembali menceritakan kisah mengerikan yang ku alami kepada teman-temanku. Aku mengira bahwa hatiku telah sembuh dari luka itu, tapi ternyata tidak.

Saat aku melihat Courtney, semua yang telah ia lakukan padaku kembali terulang di benakku. Dia pernah menjegalku sehingga aku jatuh terguling dari tangga dan harus menggunakan kursi roda serta tongkat selama lebih dari satu minggu. Dan dia pernah menculikku, menyiksaku, menggoreskan pisau ke bahu dan rahangku, membuatku kelaparan dan nyaris mati.

Aku melihatnya seolah ia adalah seorang iblis kematian yang akan merenggut hidupku untuk yang kedua kalinya. Bekas lukaku yang telah sembuh tiba-tiba saja berdenyut kembali, dan kepalaku pusing seolah Courtney telah membantingkannya ke tembok. Persis seperti bertahun-tahun yang lalu.

Saat aku melihat Courtney, aku pingsan.

Aku terbangun saat mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang terburu-buru.

"Apa dia baik-baik saja?" Suara itu terdengar panik, khawatir dan cemas. Dan aku tahu bahwa aku mengenali suara ini.

"Ya. Dia hanya tertidur,Jazzy." Dan suara dingin itu ikut terdengar, lalu aku merasakan seseorang mengusap keningku lembut. Aku juga mengenali sentuhannya, aku mengenali bagaimana rasanya saat kulit itu menyentuh kulitku.

"Mom bilang dia pingsan."

"Dia baik-baik saja. Cailsey-" Kata-kata Justin terhenti saat aku mengerjap dan membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah wajah Justin. Lalu langit-langit kamar yang ku kenali sebagai kamar Justin. "Cailsey..." Mata Justin terpejam dan dia menghembuskan napas lega.

"Oh, kau sudah bangun." Jazzy tersenyum senang dan berlari kecil untuk mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Matanya menatapku riang. "Kau baik-baik saja?"

Aku hanya mengangguk pelan, bersamaan dengan semua ingatan yang berlomba-lomba memasuki benakku.

"Bisakah kau pergi ke dapur dan membuatkan teh untuknya, Jazzy?" Justin bertanya dan Jazzy langsung mengalihkan pandangan dariku.

"Tentu." Dia mengangguk semangat. "Aku akan segera kembali." Dan dengan itu, Jazzy beranjak bangkit dan berlari keluar dari kamar Justin.

"Bagaimana perasaanmu?" Justin menatapku saat pintu kamarnya telah tertutup. Tangannya mengusap pipiku lembut dan ada perasaan bersalah yang tercermin di wajahnya.

Perfect TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang