Chapter 4

1.9K 172 4
                                    

            Dia duduk dengan ekspresi tenang dan serius di kursinya. Tapi di balik semua itu, tak ada satupun yang tahu bahwa pikiran Cailsey kini melayang entah kemana, termasuk wanita paruh baya yang sedang menerangkan sebuah teori di depan kelas.

            Cailsey menghembuskan napas diam-diam sambil memalingkan wajah dari papan tulis. Ia bersumpah ini adalah pertama kalinya bagi Cailsey tidak dapat mencerna pelajaran yang sedang di terangkan. Di saat semua mahasiswa dan mahasiswi di sekitar sibuk menyimak dan mencatat, Cailsey malah menggenggam ponselnya dan berpura-pura memperhatikan.

            Sejak tadi malam, sejak pesan yang terakhir ia kirimkan untuk Justin, Cailsey terus merasa gelisah. Di satu sisi ia merasa bersalah karena telah berkata sekejam itu pada Justin, menyalahkan lelaki itu atas apa yang ia pilih. Tapi di sisi lain, Cailsey juga merasa benar. Bukankah Justin sendiri yang bilang bahwa ia harus jujur atas perasaannya?

            Gadis itu menggeleng putus asa, menatapi ponselnya dengan pandangan kosong. Pikiran Cailsey kini dipenuhi banyak hal. Tentang Justin, hubungan mereka yang sulit dan melelahkan serta pesan terakhirnya untuk lelaki itu. Dan di saat ia benar-benar muak, Cailsey sempat berpikir, apakah tidak lebih baik hubungan ini di akhiri saja?          

           

***

            Dan sama seperti apa yang Cailsey alami, Justin juga sama buruknya hari ini. Wajahnya kusut dan lingkaran hitam di bawah matanya menandakan bahwa lelaki itu tidak tidur semalaman. Bukan karena ia harus mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk, melainkan memikirkan hidup dan Cailsey tentunya.

            Ia merasa bersalah pada gadis itu, merasa bersalah karena tidak memilihnya. Tapi Justin benar-benar tak bisa berpisah dari Pattie. Dia adalah anak lelaki satu-satunya di rumah itu. Ayahnya sudah memiliki kehidupan lain, dan tentu saja Justin tak bisa meninggalkan Dycrest seenaknya. Siapa yang nantinya akan menjaga ibu dan kedua saudara perempuannya? Tentu saja tidak ada.

            Sejak awal Justin sudah tahu bahwa ini tidak akan mudah. Menjalani sebuah hubungan jarak jauh ternyata sangat sulit saat kita mengalaminya secara langsung. Justin lelah. Baik dari segi fisik maupun batin. Dan ia yakin Cailsey juga sama buruknya.

            Sepanjang pagi ini, Justin sama sekali tak bisa berkonsentrasi terhadap kelasnya. Ia bahkan tertangkap melamun di dalam kelas dan mendapat hukuman dari dosen. Sangat menyebalkan memang, tapi Justin tak bisa berbuat banyak.

            Saat ini, ia sedang duduk di kafetaria, membolos dari kelas yang seharusnya ia ikuti untuk dua jam ke depan. Sambil menyeruput minumannya, Justin mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tempat itu memang tidak terlalu ramai, tidak seperti saat-saat jam makan siang tiba. Lima menit berikutnya, sosok yang sejak tadi Justin tunggu muncul dari baik pintu, menghampirinya dan duduk di depannya setelah sebelumnya memesan minuman.

             “Jadi apa yang membuatmu membolos kelasmu sepagi ini?” Kevin yang baru saja datang membuka tasnya dan meletakkan benda itu ke atas meja dengan cara membantingnya.

             “Moodku rusak. Aku tertangkap melamun di kelas dan mendapat hukuman membuat lembar kerja tentang bakteri. Kau tahu, rasanya seperti kembali ke zaman SMA, dan pastinya tugasku minggu ini akan bertambah.” Justin mengakhiri kalimat dengan putaran mata. Di depannya, Kevin sedang menatap lelaki itu heran. Sejak kapan Justin Bieber mendapat hukuman?

             “Ini rekor baru. Aku harus memberitahu Cailsey bahwa kau mendapat hukuman.” Cercah Kevin jahil.

             “Jangan memberitahunya.” Sahut Justin dingin. “Hubungan kami sedang memburuk.”

Perfect TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang