Aku merasakan kenyamanan yang membuat hatiku tentram dan tenang. Hembusan udara hangat menerpa puncak kepalaku, wajahku bersandar pada dada yang bidang dan setiap kali aku mengambil napas, aroma tubuhnya yang menyenangkan selalu memenuhi rongga hidungku. Akhirnya, aku merasakan lagi sensasi ini. Sensasi saat aku terbangun dalam pelukan lelaki yang ku cintai. Rasanya tak pernah berubah, selalu fantastis dan membuatku kecanduan.
Menggerakkan tubuhku lebih dekat, aku menggesekkan pipiku di dadanya yang terbungkus kaus tipis, merasakan kehangatannya. Tanganku meraih bahunya agar aku bisa memeluknya dan sepenuhnya bersandar pada tubuhnya. Ya Tuhan, sepertinya aku tidak akan kemana-kemana hari ini. Aku ingin bergelung di ranjangku dan memeluk Justin sepanjang hari.
Mataku terpejam, baru saja akan tidur kembali saat ciuman hangat menyentuh keningku, dan tangan Justin yang berada di punggungku bergerak untuk mengelusnya dan menarikku semakin dekat. Sontak aku terkejut, "Siapa yang mengijinkanmu untuk memasukkan tangan ke dalam pakaianku, Justin?" Tanyaku dengan suara serak, aku bersikeras agar nada bicaraku terdengar tegas.
"Selamat pagi, gadis es." Dia berbisik halus dan kembali mencium keningku. Dengan sengaja, ia kembali mengusap kulit punggungku dengan telapak tangannya yang terlalu halus untuk ukuran seorang pria, membuatku tersentak dan sepenuhnya terbangun. Sialan!
"Justin!"
"Hmm... jangan bergerak, Cailsey. Kau akan menyesalinya." Justin bergumam pelan dan dari caranya berbicara, aku tahu bahwa dia bahkan belum membuka matanya.
"Kalau begitu lepaskan aku!" Perutku serasa terputar ketika Justin menjalarkan tangannya ke sisi tubuhku, mengelusnya naik dan turun.
"Aku masih ingin memelukmu."
"Kau tidak memelukku!" Bentakku dengan suara lebih keras. Tanganku mendorong dada Justin, ingin membuat jarak dengannya. "Kau menggerayangi punggungku!"
Tanpa kuduga, Justin tertawa kecil. Tawa yang terdengar begitu seksi karena suara paginya yang serak. "Kau juga boleh menggerayangiku. Tidak masalah." Jawabnya acuh.
"Kau akan menyesal!"
"Dan kau tidak akan berani melakukannya."
Tiba-tiba saja aku merasa tertantang. Kepalaku mendongak, untuk melihat wajah Justin yang masih tenggelam pada bantal dengan mata tertutup. Sambil menyeringai kecil, aku bertumpu pada satu siku-ku dan bergeser naik hingga wajah kami sejajar. Jari-jariku mulai menelusuri sisi wajahnya, dan ketika mata Justin mulai mengerjap, aku segera menangkup rahangnya dan menjatuhkan bibirku di bibirnya.
Justin sangat terkejut, aku tahu itu. Namun aku terus menggodanya dengan cara melumat habis bibirnya dengan bibirku, dan ketika tangan Justin keluar dari piyamaku dan menarik bagian belakang leherku , dia balas menciumku dan memperdalam pagutan bibir kami.
Alam bawah sadarku tersenyum sinis, tahu bahwa rencana ini akan sepenuhnya berhasil. Tanganku yang tadinya diam mulai menelusuri garis dadanya, memainkan ujung kain dari kaus yang ia gunakan sebelum akhirnya meluncurkan tanganku masuk. Kulit Justin terasa lembut dan hangat, sama persis seperti apa yang ku bayangkan. Tanganku berlama-lama untuk mengelus bagian itu dengan gerakan memutar sementara Justin mulai berusaha untuk menguasai mulutku. Dan aku membiarkannya.
Jari-jariku menari di atas kelembutan kulitnya, sesekali menarik bulu-bulu halus yang baru pertama kali ku sentuh saat ciuman Justin menjadi lebih keras. Tubuhnya bergerak menekanku seiring dengan napasnya yang mulai terengah. Aku semakin bersemangat untuk menurunkan sentuhanku lebih ke bawah, dan merasakan otot perutnya menegang di bawah tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Temperature
Fiksi PenggemarSequel of Coldest Temperature Book One : https://www.wattpad.com/myworks/31259503-coldest-temperature