Chapter 43

1.9K 188 9
                                    

"Bagaimana perasaanmu?" Aku mengusap kepalan tangan Justin yang berada di atas pangkuanku, menatapnya dari samping dan tersenyum samar. Justin tampak lebih tenang setelah kami memberinya waktu berdua untuk berbicara dengan Skandar, hanya saja aku ingin memastikannya sendiri. Ia tidak bicara sejak kami meninggalkan rumah sakit sepuluh menit yang lalu.

"Merasa lebih baik." Jawab Justin tenang.

"Bagus. Aku tidak perlu lagi memikirkan banyak cara untuk menghiburmu." Gumamku seraya menatap ke luar jendela. Tapi ternyata, Justin tidak membiarkanku lepas begitu saja.Ia menarik tangannya dari genggamanku lantas meraup daguku, membuatku kembali melihatnya. Jika saja jalanan tidak sesunyi sekarang, mungkin aku akan marah dan menyuruh Justin untuk fokus mengemudi.

"Ulangi perkataanmu." Suruhnya menatapku sekilas.

"Kau mendengarnya dengan jelas."

"Tidak. Ulangi sekali lagi. Aku ingin mendengarnya."

Menghela napas panjang, aku mulai membuka mulut dan berkata. "Aku hanya berpendapat bagus jika kau sudah merasa lebih baik, jadi aku tidak perlu memikirkan cara untuk menghiburmu."

"Kau ingin menghiburku?"

Aku memutar mata jengah, sadar akan nada main-main yang ia gunakan. "Aku hanya muak melihatmu diam dan bersikap aneh, seperti gadis yang sedang mendapat tamu bulanannya."

Mulut Justin terputar lucu dan ia menahan senyum dengan pandangan yang tertuju ke depan. "Apa kau sudah memikirkan cara untuk menghiburku jika seandainya perbincanganku dengan Skandar tidak berhasil?"

Oh! Aku mengerti sekarang! "Tentu, aku memikirkan banyak hal." Godaku sambil mengubah posisi duduk agar menghadapnya. Aku mendekat dan mulai memeluk sebelah lengannya.

Justin menahan senyum. "Bisa beritahu salah satunya?"

"Tidak boleh. Itu akan menjadi rahasiaku."

"Ayolah, aku hanya ingin mengetahuinya." Justin merengek seperti anak kecil, namun dengan caranya berbicara yang datar membuat hal itu terdengar aneh.

"Teruslah berharap dan kau tidak akan pernah tahu."

"Aku merasa sedih sekarang."

Aku tertawa kecil dan menggeleng. "Tidak akan berhasil, Justin. Aku tahu kau tidak benar-benar merasa sedih."

"Aku serius. Aku merasa sedih karena kau tidak mau mengatakannya padaku. Sekarang, hibur aku." Dan dia tertawa oleh lelucon yang ia buat sendiri.

Kami tiba di apartemenku lima menit kemudian. Justin mematikan mesin mobilnya dan turun bersama untuk mengantarku hingga ke depan pintu. Tangan kami berpegangan dan Justin menarikku mendekat saat kami menunggu lift untuk terbuka.

"Apa kau yakin Emma dan ibunya akan baik-baik saja disana?" Tanyaku pada Justin. Aku tak bisa berhenti memikirkan hal ini sejak kami, serta Connor dan Elise meninggalkan rumah sakit. Aku merasa sedikit kasihan kepada ibu Skandar yang tampak sangat lelah.

"Tidak apa. Aku sudah memastikan semuanya terkendali. Aku menyuruh pihak rumah sakit untuk menambah sofa yang lebih lebar. Mereka bisa tidur disana."

Aku diam sejenak, merasa lebih tenang, namun sebuah pertanyaan lain muncul di benakku. "Apa yang sebenarnya kau dan Skandar bicarakan tadi?" Mengapa Justin terlihat sangat berbeda? Bukan berarti aku ingin ia menjadi Justin yang kecewa dan marah seperti sebelumnya, namun ini terlalu cepat. Justin tampak sangat tenang dan bersikap seolah ia sudah mengetahui hal ini dan menerimanya sejak lama.

Pintu lift terbuka, membuat Justin tak kunjung menjawab pertanyaanku dan malah menuntunku masuk. Ada seorang pria tua yang keluar dari dalam, dan selebihnya, kami sendirian.

Perfect TemperatureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang