Ini adalah minggu kedua sejak pesta pertungan Freed berlangsung. Minggu kedua sejak aku bertemu dengan pria gay bernama James yang menurutku menaruh perhatian lebih terhadap Justin.
Tidak banyak hal yang terjadi selama ini. Neil masih tetap dalam usahanya untuk terus menarik perhatianku, yang mana aku tidak bisa menolak dan harus bersabar menghadapi sikapnya agar aku tidak dipecat. Dan sejak Connor memilih untuk menebus rasa sakit Elise dengan menghabiskan lebih banyak waktu dengan sepupuku itu, Justin telah menyandang gelar sebagai supirku. Tidak dalam arti yang sebenarnya, aku menyebutnya begitu karena dia benar-benar menggantikan posisi Connor untuk mengantar dan menemaniku ke berbagai tempat.
Minggu ini, Calis tidak datang ke apartemenku. Ia terpaksa untuk menetap di rumah keluarga Breinstein dan berlatih drama dengan teman-teman sekelasnya. Aku masih ingat saat pertama kali ia mengeluh tentang tugas itu, dan diam-diam aku bersyukur di Cobham Hall tidak ada satupun guru yang menyuruh muridnya membuat drama pendek. Jika tidak, mungkin aku akan menghabiskan sebagian waktuku untuk menghafalkan dialog-dialog konyol. Aku juga bersyukur bahwa Calis sudah tumbuh menjadi gadis yang lebih ribut dan ceria, bisa bayangkan bagaimana ia memerankan tokohnya jika dia masih menjadi gadis dingin dan datar seperti dulu.
Dan satu hal yang tidak berubah selama dua minggu terakhir adalah, Louis masih menjadi orang terakhir yang aku pikirkan sebelum aku menutup mataku di malam hari.
“Aku akan menyerahkan laporannya besok pagi, Jo!”
Aku menggeleng mendengar nada frustasi yang keluar dari mulut Elise. Kami harusnya sarapan dengan tenang pagi ini, namun Elise benar-benar tidak bisa lepas dari panggilan telepon bosnya. Ini adalah ke lima kalinya ponsel itu berdering dan kelima kalinya pula Elise mengangkat panggilan-panggilan itu sejak kami duduk di konter dapurnya.
Tanganku meraih selembar roti lagi, mengolesinya dengan selai stoberi lantas meletakkannya di atas piring Elise. Bergabung dengan dua roti lainnya yang belum tersentuh sejak tadi sedangkan aku sudah menghabiskan roti ketigaku.
“Aku bisa gila jika terus hidup seperti ini!” Elise berucap sarkastik sambil membanting ponselnya di meja, sementara aku hanya diam dengan sikap tak peduliku.
Elise memijat pelipisnya sejenak, lalu mengambil roti dan mulai memakannya. Matanya menerawang jauh ke arah lain dan tampak berpikir keras.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku, tidak tahan dengan sikapnya yang seolah sendirian di ruangan sebesar ini. Dia menatapku, menelan rotinya terlebih dahulu lantas menjawab,”Aku harus menyiapkan beberapa laporan kerjaku, tapi aku sudah berjanji untuk menemani Connor makan malam. Menurutmu apa yang harus kulakukan?”
“Kau akan makan malam bersama Connor?”
Elise mengangguk lemah sekaligus mengerang kesal. “Sepertinya akan batal. Jo terus mendesakku untuk menyelesaikan laporannya karena naskah yang ku pegang sudah memasuki tenggat waktu.”
“Sepertinya kau dan Connor semakin dekat. Apa itu tidak masalah untukmu?”
“Apa maksudmu?”
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Kau mempunyai perasaan untuknya sementara dia hanya menganggapmu teman. Aku hanya berpikir ini akan sulit untukmu karena kau... kau mungkin akan terus berharap padanya.”
“Kau benar.” Elise tersenyum kecut.”Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Dia terus menempel seperti dulu sejak kejadian yang melibatkan gadis bernama Angel itu. Aku tidak bisa menolak ajakannya. Aku takut jika aku menghindar, dia akan berpikir bahwa aku masih menyukainya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Temperature
FanficSequel of Coldest Temperature Book One : https://www.wattpad.com/myworks/31259503-coldest-temperature