Cailsey duduk terdiam dengan tatapan kosong ke arah lantai. Wajahnya kusut dan pucat, terlihat lebih tirus dari dua hari sebelumnya. Ia berpikir, seberapa buruk lagikah hidupnya? Jika Tuhan masih ingin menghukumnya, memberi cobaan yang lebih besar dari ini, maka Cailsey tidak akan sanggup.
Dua hari terakhir sudah terasa seperti neraka. Ia tak bisa bertingkah sama, ataupun menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Ini adalah hari kedua sejak kondisi Skandar memburuk. Ia masih berada di ruang ICU, menjalani perawatan intensif dengan berbagai macam selang yang terhubung ke tubuhnya. Ya, Skandar kritis, dan Cailsey merasah terpukul melihat sahabat yang ia cintai berada dalam kondisi terburuknya. Dan diam-diam, Cailsey juga merasa takut. Ia takut bahwa mata itu takkan lagi terbuka, wajahnya yang kaku tidak akan lagi bisa tersenyum, dan suaranya yang selalu bisa menenangkan semua orang, tidak akan pernah lagi terdengar.
Cailsey memejamkan matanya dan menggeleng, membuang semua pikiran buruk yang bersarang di otaknya. Matanya lantas menatap Emma serta ibunya yang terduduk sambil bersandar satu sama lain. Mereka tertidur, dan pemandangan itu membuat Cailsey tersenyum samar, setidaknya keadaan mereka lebih baik darinya. Kemudian tanpa sadar, Cailsey melihat pakaian lusuh yang ia kenakan.
Pakaian itu adalah pakaian yang sama sejak dua hari yang lalu ketika Cailsey datang ke rumah sakit dan tertidur di samping Skandar. Pakaian yang sama saat ia memeluk Elise yang histeris karena melihat secara langsung tubuh Skandar yang kejang. Pakaian yang sama saat Connor meneleponnya dan memberitahu bahwa... Justin telah pergi.
Cailsey masih ingat dengan jelas bagaimana perasaannya saat itu. Dunianya seakan-akan runtuh sehingga puing-puing hidupnya jatuh menimpa seluruh tubuhnya. Ia merasakan sakit yang bahkan hingga saat ini tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Cailsey masih ingat dengan jelas bagaimana malam itu Connor datang dengan wajah hampir pucat, antara khawatir serta takut. Dia mengatakan banyak hal kepada Cailsey, sambil memeluknya dan berusaha menenangkannya, tapi yang bisa Cailsey dengar saat itu hanya ucapan Connor yang mengatakan semua akan baik-baik saja.
"Cailsey..."
Suara itu membuat lamunannya buyar, lantas menatap Elise yang langsung duduk di sampingnya. Berbeda jauh dengan Cailsey, Elise tampak lebih segar dan rapi, mengingat ia baru saja pulang ke apartemennya untuk mandi dan beristirahat.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Elise.
Cailsey menghela napas, lantas menjawab. "Sama seperti sebelumnya."
Elise sudah tahu hal itu, hanya saja ia tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya saat mendengar hal itu langsung dari mulut Cailsey. "Jake meneleponku." Katanya, dan ini membuat Cailsey kembali menatapnya. Mereka memang telah memberitahu semua orang tetang kondisi Skandar, hanya saja Cailsey tak menyangkan bahwa pesan mereka akan sampai secepat itu kepada Jake. "Dia menangis." Lanjut Elise seraya tertawa masam. "Dia mengatakan bahwa dia baru menerima semua pesan kita pagi tadi. Ia bahkan tak tahu bahwa Skandar berada di rumah sakit sejak lama dan terkena penyakit sialan itu. Jake bilang dia akan berusaha untuk datang."
"Dia sangat sibuk bekerja." Dan mungkin saja Jake sedang berada dalam misinya ketika Elise memberitahukan tentang kondisi Skandar saat ia pertama kali masuk rumah sakit.
"Kau benar." Balas Elise. "Dan Justin-"
Cailsey langsung menatap Elise dengan tajam, menantangnya untuk menyelesaikan kalimatnya. Dan ini hanya membuat Elise memutar mata jengkel. "Mari berhenti berpura-pura, oke? Justin menghilang dan tak ada satu orangpun yang tahu dimana keberadaannya." Kata Elise tegas. "Aku mengerti bahwa kau mencintainya, kau merasa sedih dan terpukul karena dia pergi meninggalkan semuanya begitu saja. Tapi, Connor memberitahuku bahwa siang tadi, Justin meneleponnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Temperature
Fiksi PenggemarSequel of Coldest Temperature Book One : https://www.wattpad.com/myworks/31259503-coldest-temperature