“Bisakah kau mengendarainya lebih cepat?”
“Kau mau kita berdua mati? Jalanan begitu padat, Cailsey! Jadi bersabarlah!”
Aku berdecak kesal sambil menompang kepalaku pada tangan yang kusandarkan di kaca jendela. Aku terlambat bangun hingga melewatkan sarapanku.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan tadi malam?” Justin kembali bertanya saat mobil yang kami kendarai berhenti, menunggu lampu lalu lintas menjadi hijau. Untuk yang kesekian kalinya, aku melihat jam tanganku, lalu desahan cemas kembali kusuarakan. Aku harus tiba dalam lima menit, jika tidak, habislah aku. Mungkin Sarah akan mengomeliku sampai jam kerjaku selesai.
“Aku menonton film.” Jawabku dengan nada enggan.
Justin menatapku sekilas lantas tertawa pendek. “Kau menonton film hingga larut malam di hari kerja?”
“Ya.” Kataku. “Tapi ini juga salahmu. Harusnya kau mengetuk pintuku lebih cepat!”
“Jadi kau sekarang menyalahkanku?”
“Ya!” Meskipun sesungguhnya ini sama sekali bukan kesalahan Justin. Malah seharusnya aku berterimakasih pada ketanggapannya. Justinlah yang berinisiatif untuk menjemputku langsung ke dalam apartemen setelah hampir lima belas menit menunggu di luar. Jika tidak, mungkin aku benar-benar akan memilih libur hari ini.
“Sulit dipercaya!” Justin mendengus sebal sedangkan aku hanya diam ketika mobilnya kembali berjalan.
Hampir lima menit berikutnya, barulah aku bisa bernapas lega. Kami sampai di depan kantorku dan dengan cepat aku mengambil tas yang kulempar asal ke jok belakang.
“Kau tidak terlambat. Senang?” ucap Justin mencibir sinis.
“Hampir, Justin! Hampir. Tapi terimakasih karena telah mengemudi dengan hati-hati sehingga aku selamat sampai tujuan.” Aku mencoba memberinya senyuman tipis saat dia hanya bergumam pelan.
“Turunlah, jangan sampai kau benar-benar terlambat. Aku jemput pukul lima. Kita makan malam bersama.”
Aku mengangguk cepat, lalu memeluk Justin dari samping sementara ia mencium pelipisku lembut.
“Sampai jumpa nanti sore.” Aku segera turun dari mobilnya dan berlari kecil ke gedung kantor. Aku berusaha untuk berjalan sehati-hati mungkin agar tidak terjatuh karena sepatu hak yang kupakai.
Lift terbuka, dan dalam hitungan detik aku sudah bergabung dengan karyawan-karyawan lainnya. Sambil mencoba menormalkan napasku, dalam hati aku berdoa, semoga saja Neil tidak berada di lobi. Ini sudah hampir jam setengah delapan, jadi sudah pasti ia telah duduk manis di ruangannya mengingat pangkat yang ia pegang di perusahaan ini cukup penting.
Tapi ternyata, dugaanku salah. Saat aku tiba di lantai yang kutuju, Neil sudah berdiri di meja resepsionis yang harus kulewati setiap pagi. Wajahnya sedikit khawatir, namun, saat matanya menangkap sosokku di antara karyawan yang keluar dari dalam lift, senyumnya melebar. Oh, bisakah pagi ini berjalan lebih baik?
“Selamat pagi, Cailsey.” Neil menyapa dengan suara hangatnya, mendekatiku dan memelukku sok akrab. Aku hanya bisa menghela napas sambil memutar mata, dan seorang wanita di meja resepsionis menahan tawa melihat reaksiku. Ya, tentu saja dia sudah hafal dengan kelakuan Neil setiap paginya. Jadi, aku menyempatkan untuk melempar senyum kecut ke arah wanita itu sebelum Neil menjauhkan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Temperature
FanfictionSequel of Coldest Temperature Book One : https://www.wattpad.com/myworks/31259503-coldest-temperature