IX - Haruskah Berakhir Saja?

712 45 16
                                    

Terkadang kita hanya melihat kesedihan kita saja dan membandingkannya dengan kebahagian orang lain, namun tanpa kita sadari, orang lain yang tengah menikmati masa bahagianya adalah orang yang pernah merasakan sulitnya berjuang demi sampai di titik bahagia.

💄💄💄

“Diana apa kabar sih?”

Tangan Bianca yang semula sibuk merapihkan modul miliknya itu lantas terhenti seiring dengan kepalanya yang menoleh ke samping ke arah si penanya, namanya Aulia, teman kelasnya selain Naka yang deket sekali dengannya.

“Tumben nanya Diana,” jawab Bianca.

Aulia tersenyum lebar hingga gigi putihnya terpampang. “Inget aja biasanya Diana suka kumpul sama kalian. Dia juga baik pernah nolongin gue.”

“Sahabat gue gitu lho,” ucap Bianca bangga, “by the way, dia baik-baik aja, kok. Kemarin telponan. Makin cantik malah. Gila sih gue kalau jadi Agasa mana tahan LDR sama istri kayak Diana.”

“Jadi, kapan lo nikah sama Zemi?” tanya Aulia sembari tersenyum menggoda ke arah Bianca.

“Doain ajalah, gue juga enggak tahu. Btw, duluan ya. Ada jadwal kumpul nih. Zemi udah nunggu di parkiran.”

“Tuh kan, kalian tuh makin lama bukannya makin saling lupdar ini mah makin kompak. Andai aja gue jadi pasangan Naka, pasti bisa ikut kumpul,” ucap Aulia diiringi pipi merah meronanya. Aulia memang mengagumi Naka, namun sayangnya pria itu tidak merespon apa-apa.

Bianca menepuk pundak Aulia. “Semangat ya, Sis! Berjuang lagi aja, kali aja jodoh. Ye, ‘kan?”

“Yoi, doain,” balas Aulia diakhir tawa keduanya. Mereka memang absurd, maklumi saja.

Selepas berbincang singkat dengan Aulia, Bianca langsing menemui Zemi di parkiran. Pria itu sudah duduk di kursi kemudi membuat Bianca harus dengan pasrahnya membuka pintunya sendiri.

“Kayaknya ada sesuatu ya, Zem. Keliatannya kamu badmood deh semenjak pulang dari rumah aku semalam,” ucap Bianca mengeluarkan unek-uneknya.

“Biasa aja, Bi. Nanti ya ngobrolnya aku lagi nyetir. Takut nabrak,” balas Zemi tak seperti biasanya.

Wajah Bianca berubah muram. “Zem, ingat ya kalau ada apa-apa bilang. Kita udah gede. Jangan diem-dieman kayak waktu masih SMA.”

“Iya,” balas Zemi singkat membuat Bianca hanya bisa pasrah dan kepalanya mulai mengingat kejadian apa saja yang sudah mereka lalui malam itu. Mungkin memang Bianca ada salah.

“Tapi perasaan gue enggak ada ngapa-ngapain dah sama dia, bahkan kita nyusun rencana buat bikin mamanya luluh. Ais, kenapa rumit sih?” gerutu Bianca dalam hatinya tak lupa tatapannya lurus menatap sang kekasih yang duduk di sampingnya. Mata pria tertutupi kacamata yang harganya bukan main.

“Enggak usah ngeliatin, aku tahu aku ganteng,” celetuk Zemi tiba-tiba membuat Bianca reflek mengalihkan pandangannya.

Zemi memang masih belum siap untuk membicarakan Heru, biarlah perkumpulan ini selesai baru masalahnya dengan Bianca diselesaikan. Zemi tidak ingin membuat para sahabatnya curiga.

***

“Tiara mau nikah.”

“APA?!”

Dosen Vs Boyfriend [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang