XLII - Heru Orang yang Tepat

494 34 8
                                    

Saya tak peduli akan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi karena saya akan berpegang teguh pada prinsip saya yang tak pernah mudah melepaskan apa yang telah saya genggam.

💄💄💄

Gue ikut ganti baju dan jangan lupa panggil Naka sama Devon ke sini!

Jika tidak ingat Bianca adalah sahabat Diana dan juga temannya saat SMA, mungkin Agasa akan dengan senang hati mengusir gadis itu keluar dari rumahnya.

Namun, dirinya masih punya hati nurani terlebih melihat wajah Bianca yang seram, tetapi penuh luka yang dipendam.

“Lo gila gue lagi enaknya berdua sama Anya malah dipanggil ke sini,” protes Devon yang baru saja sampai.

“Gue enggak maksa tuh,” ucap Bianca terlewat menyebalkan.

Devon memijat keningnya. “Lo sehat enggak sih, Bi? Ada apaan sih lo tiba-tiba ngumpulin kita?”

“Pertama-tama, Alhamdulillah gue sehat. Kedua-dua, kalian yang enggak sehat!” sewot Bianca membuat Devon, Agasa dan Naka mengernyit dahi.

“Ada apa, Bi? Langsung saja ngomong,” ucap Naka.

Bianca mencoba mengatur nafasnya yang memburu karena emosi. “Kalian kenapa enggak bilang ke gue kalau Zemi dipindahkan ke Singapura? Separah apa dia sampai harus pindah ke sana? Apa di Indonesia udah enggak ada rumah sakit yang bagus lagi?”

Agasa tersenyum smirk. “Maaf aja, Bi. Dulu yang enggak peduli saat kita setiap detik ngabarin soal Zemi itu siapa, ya?”

Skakmat! Sialan memang Agasa jagonya membuat lawan bicaranya tak bisa berkutik.

Wajah Bianca berubah sendu, tak ada lagi amarah di sana. “Gue tahu gue salah, gue minta maaf. Tapi, please kasih tahu gue dia sakit apa?” mohonnya.

“Lo udah punya calon, Bianca. Jangan aneh-aneh,” ucap Naka memperingati.

“Gue cuman khawatir sama dia, Nak. Gue takut enggak bisa lihat dia lagi. Setidaknya kita temanan lagi. Gue takut dia pergi,” lirih Bianca membuat Devon lantas mendekati gadis itu dan merangkulnya berusaha memberikan kekuatan pada temannya ini.

“Lo tenang aja, Zemi baik-baik aja. Dia sama keluarga menetap di sana karena masalah opanya yang emang sakit dan dirawat di sana. Enggak ada urusannya sama lo,” jelas Devon yang tak sepenuhnya benar, namun tak bohong pula.

Bianca menatap Devon lekat. “Lo enggak bohong, ‘kan?”

Devon tersenyum sembari mengangguk. “Jangan khawatir, dia pasti paham. Sekarang lo fokus aja sama rencana pernikahan lo. Fokus sama pak Heru. Hargai dia, jangan labil, ya.”

Lagi-lagi, Bianca salah. Bianca tak menghargai Heru. Akan tetapi, jujur Bianca tak bisa membohongi perasaannya sendiri jika dia cemas akan kondisi Zemi.

“Mami, Mami mau nikah? Sama siapa? Emang bisa ya kalau lagi sakit nikah?” Evano muncul dengan piyama bermotif tayo.

“Lho, anak Papa udah bangun?” sapa Agasa sembari mengangkat tubuh Evano untuk duduk di pangkuannya, namun bocah kecil itu berontak dan memilih duduk di pangkuan Bianca sembari menghadap Bianca membuat Devon lantas menjauh memberikan ruang untuk keduanya.

“Papi aku tetap papi Zemi, ‘kan?” tanya Evano dengan polosnya.

Agasa, Devon dan Naka saling tatap satu sama lain. Mereka tidak tahu bagaimana reaksi Evano jika tahu papi dan maminya sudah tak lagi bersama.

“Iya, dong. Papi Evano tetap papi Zemi,” jawab Bianca sembari tersenyum terpaksa.

“Terus kenapa Mami nikah sama pak Heru? Pak Heru itu siapa? Mami enggak kasian sama papi yang sakit? Mami enggak sayang lagi sama papi?” cerca Evano yang entah bagaimana bisa bocah enam tahun itu paham percakapan mereka tadi.

Dosen Vs Boyfriend [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang