Chapter 14 : Chocolate

138 24 0
                                    

Kenapa dia tiba-tiba mengatakan ini padaku? Apa dia mulai mencurigaiku? Bahwa aku berniat membunuhnya saat ini?

"Tapi yang paling kuingat adalah saat aku diculik dan dibuang ke hutan di daerah perbatasan yang dipenuhi monster. Saat itu benar-benar mengerikan. Hutannya sangat gelap dan dingin. Dan aku rasanya masih bisa mendengar suara-suara raungan monster dari kejauhan. Tapi saat itu aku tidak mati karena aku bertemu dengan anak lainnya di sana. Kami berhasil keluar dari hutan itu hidup-hidup dan kami masih berteman sampai sekarang." Katanya.

"Siapa yang menculik Yang Mulia saat itu?" Tanyaku.

"Aku tidak tahu. Aku tidak mengenalnya. Bisa siapa saja." Katanya, seolah tidak benar-benar peduli siapa orang yang berniat membunuhnya. "Lady, apa kau berpikir kematian adalah hal yang paling menakutkan?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kematian, bagi para Lenoir, adalah sesuatu yang kami tentukan sendiri. Pada dasarnya kami semua akan mati, jika kami tidak membunuh calon pewaris lainnya.

Saat memperhatikan aku kesulitan menjawab pertanyaannya, dia melanjutkan, "Maaf jika pertanyaanku terlalu menyeramkan."

Aku hampir saja tertawa.

"Yang Mulia, saya adalah anggota keluarga Lenoir. Tentu Yang Mulia tidak lupa bahwa kami adalah orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan kematian bukan?"

Alexandrite mengangguk, "Benar. Jadi kau tidak takut? Pada kematian?" Dia mengulang pertanyaannya.

"Entah lah. Saya juga tidak tahu. Karena saya belum mengalaminya sendiri." Jawabku. "Apa Yang Mulia takut pada kematian?" Aku balik bertanya padanya.

"Tidak." Jawabnya langsung, tanpa keraguan sedikit pun. "Aku jauh lebih takut jika orang-orang yang ada di sekitarku, orang-orang yang kukenal dan orang-orang yang kusayangi mati sedangkan aku tetap hidup. Kehidupan terasa jauh lebih mengerikan bagiku."

Kalau begitu kenapa kau tidak mati saja dan memudahkan pekerjaanku?

"Jika Yang Mulia mati hari ini, apa yang akan Yang Mulia lakukan?" Tanyaku.

"Aku tidak tahu. Kurasa aku akan menerima kematianku begitu saja. Aku tidak akan menghindar."

"Jika ada seorang pembunuh bayaran yang tiba-tiba datang saat ini, apa Yang Mulia akan diam saja?"

Dia menatapku cukup lama sebelum akhirnya tersenyum dan membalas, "Tidak. Aku akan melawannya." Katanya. "Karena ada Lady di sini. Paling tidak aku harus melawan untuk menyelamatkan Lady dari pembunuh bayaran itu."

"Lalu bagaimana kalau saya lah pembunuh bayaran itu?" Aku berusaha membaca ekspresinya sebelum melanjutkan, "Yang Mulia pasti tidak lupa bahwa saya seorang pembunuh. Semua anggota keluarga saya bisa dibilang adalah pembunuh bayaran yang dibayar oleh kekaisaran untuk membunuh apa pun atau siapa pun yang diperintahkan kepada kami."

Alexandrite tidak langsung menjawabku. Aku mencari-cari tanda rasa takut yang mungkin akan muncul di raut wajahnya. Tapi tidak ada.

"Apakah Lady akan membunuhku?" Tanyanya kemudian.

Aku menggenggam pisau belati yang kusembunyikan di salah satu saku gaunku dengan erat. "Bagaimana jika iya?"

Haruskah aku melakukannya sekarang? Dia bilang dia tidak akan menghindar bukan?

Lama aku menunggu jawabannya, tapi dia justru tertawa. Apa dia pikir aku sedang bercanda? "Maaf, aku tidak yakin harus mengatakan apa." Katanya. Dia menghentikan tawanya, menatapku dan berkata selembut mungkin, "Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi kurasa aku akan bersyukur. Karena Lady akan menjadi orang terakhir yang kulihat sebelum kematianku."

How To Kill Your Rich HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang