Chapter 26 : Scars

186 29 0
                                    

Usai berpakaian, aku turun menuju taman bunga beracun milik keluargaku. Betapa aku merindukan aroma ini serta efek setelahnya.

Meja dan kursi-kursi sudah ditata sedemikian rupa seperti biasa. Tapi belum ada siapa pun di sana. Hanya kursi-kursi kosong. Padahal ini sudah hampir tiba waktunya kami minum teh. Perutku juga sudah lapar karena belum makan apa pun sejak pagi. Paling tidak camilan yang akan dihidangkan pagi ini harusnya bisa mengenyangkanku.

"Di mana yang lain?" Tanyaku pada Sylvia yang berjalan di sampingku.

"Tuan Garnet sedang sangat sibuk di ruangannya dan belum keluar dari sana setelah menyambut kedatangan Yang Mulia. Tuan Muda Onyx pergi menuju Mediva pagi tadi menggantikan Tuan Muda Keirian. Sedangkan Tuan Muda Keirian sepertinya masih beristirahat."

"Di mana Putra Mahkota?"

"Yang Mulia Putra Mahkota tidak boleh mengikuti tradisi ini. Ini khusus untuk anggota keluarga."

"Jadi di mana—"

Kata-kataku menggantung di udara saat melihat dari arah lain, tidak jauh di hadapanku, Devlin beserta para pengawal dan para pelayannya berjalan menuju tempat kami minum teh. Dia sepertinya habis berburu. Seperti ada aura kegelapan menyelimutinya. Bahkan langit mendadak mendung. Kedua tangan Devlin masih memegang pedang berlumur darah kental, darah monster. Dia memberikan pedang-pedangnya pada para pelayannya untuk dibersihkan. Pakaiannya yang serba hitam masih berlumur noda darah monster saat dia duduk di salah satu kursi itu. Dia melihatku datang, tampak mengawasi seperti predator.

Aku hampir saja mau menunduk hormat seperti yang selalu kulakukan saat menyapa orang di Istana, tapi aku langsung ingat bahwa aku tidak perlu bersikap seperti itu di rumahku sendiri. Jadi tanpa basa-basi, tanpa sepatah kata pun, aku duduk di hadapan Devlin.

Para pelayan langsung sibuk menyiapkan cangkir teh kami dan menuangkan teh. Gerakan mereka cepat dan luwes. Dalam hitungan detik saja, secangkir teh hangat sudah siap di hadapanku. Aroma racun yang sangat kukenal kembali memenuhi indra penciumanku. Aku merasa agak pusing dan mual setelah semalaman tidak tidur dan mencium kembali aroma taman bunga beracun pagi ini setelah sekian lama. Tapi aku berhasil bersikap seperti biasa dan menyesap tehku setelah Devlin menyesap tehnya.

Kami tidak bicara. Sama sekali.

Aku memberanikan diri menatapnya. Luka gores di matanya itu masih ada. Luka itu sepertinya tidak akan pernah hilang. Sekarang aku tahu, Alexandrite lah yang menorehkan luka itu pada matanya. Maha karya yang bagus, kalau aku boleh berkomentar. Perkelahian seperti apa yang terjadi di antara mereka? Aku penasaran, tapi tak berani menanyakannya.

Devlin mendongak, menatapku saat menyadari aku sedang memperhatikan lukanya. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengambil salah satu scone di hadapanku dan memakannya. Enak sekali. Tapi aku tetap merasa ingin pingsan.

Sambil mengunyah, benakku disibukkan dengan kata-kata apa yang harus kuucapkan pada Devlin karena sepertinya dia tidak berniat membuka obrolan.

Apa kabar?

Tidak. Terlalu aneh.

Kau menangkap sesuatu pagi ini?

Terlalu tidak penting. Devlin tidak suka basa-basi.

Lihat. Aku selamat dari monster iblis pembakar manusia yang ternyata adalah temanmu. Kau senang?

Astaga.

Atau apa sebaiknya aku memulai dengan minta maaf? Terakhir kali aku bertemu dengannya, aku membanting pintu di hadapannya. Aku tidak pernah mengindahkan kata-katanya yang berusaha memperingatkanku terhadap Alexandrite. Tapi jika aku harus minta maaf padanya, lebih baik dia dulu yang minta maaf padaku karena tidak mengatakan dengan jelas makhluk seperti apa Alexandrite sebenarnya. Dia harusnya memberitahuku sejak awal.

How To Kill Your Rich HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang