Chapter 7 : Soothing Touch

212 32 5
                                    

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terbaring di tempat tidurku. Aku beberapa kali bangun saat tubuhku mulai merasa lebih baik. Dan setiap kali aku terbangun, aku melihat Alexandrite sedang tertidur sambil duduk di samping tempat tidurku. Aku mulai curiga dia tidak pernah pergi dari kamarku karena setiap kali aku membuka mata, dia ada di sana.

Mungkin juga dia tidak selalu berada di sampingku. Ada kalanya, meski sulit membuka mataku, aku tidak dapat merasakan keberadaannya di dekatku. Tapi setiap kali aku membuka mata, dia selalu ada.

Biasanya dia datang sekitar saat matahari mulai terbenam sampai larut malam. Biasanya dia datang sambil membawakan bunga untuk ditaruh di vas bunga yang ada di meja kecil di sampingku. Bukan jenis bunga yang beracun, tentu saja. Aku tahu karena aku dapat mencium aromanya. Terkadang dia menghabiskan malam di sampingku. Dan pada malam lainnya, Theo atau Ben akan datang untuk membangunkannya agar dia tidur di kamarnya. Terkadang dia menyempatkan diri datang di siang hari di sela kesibukannya atau menjengukku saat pagi hari sebelum rutinitasnya dimulai. Aku tidak selalu melihatnya, tapi aku tahu karena aku merasakan keberadaannya dari aroma tubuhnya, irama detak jantungnya, atau hangat napasnya. Aku bahkan sudah mulai hafal langkah kakinya.

Dia sering berbicara sendiri saat hanya ada kami berdua saja di kamar ini dan dia berpikir aku belum cukup sadar untuk mendengarkannya. Sebenarnya, aku mendengar semuanya. Aku mendengar suaranya yang terdengar panik di hari pertama aku sakit. Tapi aku tidak cukup bertenaga untuk membuka mata atau merespons perkataannya. Jadi aku hanya diam mendengarkan.

Alexandrite sering bercerita tentang kondisi di Istana. Tentang kesibukannya hari itu, apa saja yang dilakukannya hari itu. Tentang Kaisar yang juga sakit sepertiku tapi kondisinya lebih parah. Tapi tidak sekali pun dia menceritakan tentang dirinya sendiri padahal itu yang kuharapkan. Aku ingin mengenalnya untuk mengetahui kelemahannya. Untuk mengetahui cara yang tepat untuk membunuhnya.

Setiap kali datang untuk berbicara denganku, suaranya terdengar lelah. Kadang aku yakin dia bicara sambil menahan tangis. Kadang dia tidak mengatakan apa pun dan hanya duduk diam di sampingku.

Sebenarnya, terlalu banyak kesempatan emas untuk membunuhnya yang terlewati begitu saja saat aku sakit. Dia sedang dalam kondisi lelah dan sedih, tanpa pengawal, dan hanya ada kami berdua. Sungguh momen yang pas untuk melancarkan serangan tiba-tiba. Tapi aku tidak punya cukup tenaga untuk membunuhnya.

Hingga akhirnya, di suatu pagi aku merasa benar-benar pulih. Aku dapat membuka mataku tanpa kesulitan. Rasa nyeri di seluruh tubuhku sudah hilang meski aku merasa suhu tubuhku masih tinggi. Tapi itu bukan apa-apa bagiku. Aku yakin aku sudah cukup kuat untuk bertarung melawan beberapa monster di daerah perbatasan. Atau sekedar membunuh tunanganku.

Tapi aku langsung mengurungkan niatku itu begitu aku membuka mataku. Alexandrite ada di sampingku. Dia tampak kacau. Tapi tetap tampan seperti biasa. Dari kantung matanya terlihat jelas dia kurang istirahat. Kulitnya memucat. Kenapa dia sampai seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti apa tujuannya mengkhawatirkanku sampai terus menerus berjaga di sampingku. Dia kan tidak harus berpura-pura peduli padaku hanya karena aku tunangannya. Lagi pula kita tidak saling mengenal.

Pupil mata Alexandrite melebar saat melihatku membuka mata. Aku merindukan mata indah itu. Aku ingin memilikinya untuk pajangan di kamarku di Kediaman Lenoir.

"Cepat panggilkan dokter." Alexandrite memberikan perintah pada para penjaga yang menunggu di depan pintu kamarku.

"Jangan bangun. Tiduran saja dulu. Kau masih belum pulih." Katanya langsung saat melihatku akan bangun. "Maaf, boleh aku menyentuhmu sebentar? Aku hanya mau memastikan  demammu sudah turun atau belum."

Aku tidak mengerti kenapa, tapi dia selalu saja meminta izin padaku untuk menyentuhku. Padahal saat ini terlalu sulit bagiku untuk menjawab. Tenggorokanku terasa kering dan sulit untuk bicara, jadi aku hanya mengangguk.

How To Kill Your Rich HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang