Chapter 19 : The First Night

218 38 0
                                    

Aku terlalu fokus untuk merencanakan pembunuhan di malam pernikahan kami sehingga aku lupa apa yang biasanya dilakukan pasangan yang sudah menikah di malam pertama mereka.

Gejolak kegelisahan itu kembali menerpaku tanpa ampun sampai rasanya aku ingin mendekati Alexandrite dan menyentuhnya alih-alih hanya duduk diam dengan jarak yang ganjil di antara kami. Aku ingin merasakan ketenangan itu lagi. Aku ingin menyentuhnya lagi. Tapi di saat yang sama aku juga ingin menjauh darinya saat ini. Bagaimana kalau Alexandrite—maksudku, apa kami harus melakukannya? Apa yang harus kulakukan? Bukannya aku tidak tahu caranya, tentu saja aku sudah mempelajarinya. Itu salah satu pelajaran yang pra-nikah yang wajib kuikuti. Tapi apa kami benar-benar akan melakukannya?

Tentu saja. Kalau tidak kenapa kami sekarang ada di kamarnya.

"Kita tidak akan melakukannya malam ini." Kata Alexandrite begitu memperhatikanku tampak sedang memikirkan sesuatu. "Dan tidak akan pernah untuk malam-malam lainnya juga kecuali kau sendiri yang menginginkannya. Dan aku tahu hari ini sangat melelahkan."

Melelahkan? Oh, benar. Hari ini, setelah upacara pernikahan yang seolah berlangsung seumur hidup, kami disibukkan dengan pesta pora hingga malam. Pesta besar-besaran yang berlangsung di Istana dan seluruh kota untuk merayakan pernikahan yang berbahagia ini. Makanan enak, wine, musik semuanya tersedia gratis untuk semua orang. Aula yang digunakan untuk tempat acara utama penuh dengan para bangsawan dan perwakilan dari negara-negara lain. Aku, sebagai salah satu tokoh utama dalam pesta, Sang Putri Mahkota, tentu saja harus menemui semua orang itu satu persatu dan memasang senyum pura-pura serta beramah-tamah. Takkan ada yang pernah tahu bahwa dibalik senyumanku itu aku menderita kesulitan bernapas karena korset.

Tapi sesungguhnya aku tidak merasa lelah sama sekali. Aku sendiri takjub pada diriku sendiri.

"Benar." Aku menyetujui meski sebenarnya aku tidak lelah. Akan lebih baik berpura-pura lelah saat ini.

"Jangan khawatir. Aku bisa tidur di sofa kalau kau merasa kurang nyaman." Kata Alexandrite kemudian saat melihat aku masih tidak bergerak dari tempat duduk di salah satu sisi kamar ini.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia. Akan lebih baik jika kita tidur di ranjang bersama. Agar terbiasa." Kataku, langsung. Kalau kami berjauhan, sepertinya aku yang akan kesulitan. Lebih dekat kami, lebih mudah juga membunuhnya. Tapi kemudian aku menyadari apa yang kukatakan dan segera menyesalinya.

Alexandrite tertawa menanggapi ajakanku tidur di ranjang bersama. Dia tidak terlihat gugup sama sekali. Aku yang gugup, sialan!

"Kau masih akan memanggilku seperti itu? Bahkan meski saat kita hanya berdua? Bahkan saat di kamar?" Tanyanya. Tapi dia masih berdiri di tempatnya.

"Saya masih belum terbiasa."

"Baiklah. Jadi..."

Aku bangkit dari tempat dudukku, "Saya ingin minum secangkir teh bersama Anda. Jika Yang Mulia tidak keberatan. Saya berjanji tidak ada racun di dalamnya kali ini. Silahkan duduk dan menunggu di sini sambil saya menyiapkan tehnya, Yang Mulia." Kataku, kemudian berjalan menuju salah satu sisi kamar ini yang terdapat daun teh dan dua cangkir.

"Ada racunnya juga tidak apa-apa. Tapi aku tidak akan mengizinkanmu meminum racun apa pun malam ini."

Tidak akan ada racun malam ini. Hanya obat bius.

***

Satu jam kemudian, Alexandrite sudah tertidur pulas di atas ranjang sementara aku menggenggam erat pisau belatiku.

Aku tidak membencinya. Sungguh. Dia adalah satu-satunya pria di dunia kejam ini yang memperlakukanku dengan sangat baik. Memperlakukanku sebagai manusia. Dia sangat sopan. Dia selalu tersenyum padaku. Tidak pernah sekalipun dia melampiaskan amarahnya padaku atau meninggikan nada suaranya padaku. Saat aku baru pertama kali memasuki Istana sebagai tunangannya, dia selalu berusaha meluangkan waktunya meski dia sedang sangat lelah untuk bertemu denganku dan memastikan aku tidak kesepian. Ada dua macam orang di dunia ini, mereka yang menatapku dengan jijik dan rendah atau mereka yang takut padaku sehingga tidak sanggup menatapku. Alexandrite bukan keduanya, dia menatapku dengan lembut dan hangat. Dan meski banyak wanita bangsawan lain mendekatinya dan mendambakannya, dia tidak pernah melirik mereka sedikit pun dan sebisa mungkin tidak membuatku cemburu. Dia... adalah sosok pria sempurna yang takkan bisa ditemukan dimana pun. Sangat bertolak belakang denganku yang merupakan perwujudan mimpi buruk, dia seperti sebuah mimpi indah yang tidak nyata.

How To Kill Your Rich HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang