Itu hanya mimpi.
Benar. Itu hanya mimpi.
Aku bernapas dengan cepat. Seluruh tubuhku basah oleh keringat. Mimpi buruk lainnya.
Tapi kali ini tidak ada Kevin di sekitarku yang biasanya menenangkanku dan memberiku air minum. Sylvia juga tidak ada di kamar. Hari sudah teramat gelap dan sepi. Aku tidak yakin jam berapa sekarang tapi pasti sudah lewat tengah malam.
Aku ingin pulang. Bukan ke kediaman Lenoir yang mewah di atas gunung Remosa. Bukan pula ke Akademi. Aku ingin pulang ke rumah ibuku jauh di desa terpencil di rumah gubuk reyot yang mungkin sudah tinggal puing-puing saja. Apakah sebaiknya aku kabur saja?
Aku merindukan ibuku. Aku merindukan Ruby. Aku rindu saat semuanya masih sangat sederhana dan normal. Aku rindu saat masalah satu-satunya yang harus kami hadapi begitu bangun di pagi hari adalah kehabisan kayu bakar atau kehabisan bahan makanan. Jadi kami bisa pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar atau pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan yang mampu kami beli. Aku rindu masakan ibu. Lagu yang Ibu senandungkan sambil memasak di dapur, Ruby yang membantunya di sampingnya terus berceloteh tentang apa yang baru saja dia temukan di buku yang dibacanya, serta aku yang duduk manis menunggu sarapan sambil memperhatikan mereka. Saat-saat itu yang masih dapat kuingat sampai sekarang. Saat-saat di mana aku dapat tidur dengan mudah tanpa dihantui mimpi buruk.
***
"Ibu, apakah seorang putri benar-benar hidup bahagia selamanya bersama pangeran setelah menikah?"
aku ingat saat itu aku baru berusia tiga tahun saat bertanya seperti itu pada Ibu di suatu pagi saat Ibu dan Ruby sedang sibuk menyiapkan sarapan. Aku membantu mereka dengan menata piring dan sendok di atas meja makan kami."Wah, Crissy membaca cerita dongeng lagi, bu." Kata Ruby pada Ibu. Dia menoleh padaku dan tersenyum sambil mengelus-elus rambutku. "Padahal anak seusiamu biasanya belum bisa membaca. Crissy sangat pintar."
"Ruby, aku sedang bertanya pada Ibu." Protesku. Ruby terkikik geli mendengarnya.
Ibu berbalik, menghadapku yang masih menunggu jawabannya. Saat dia tersenyum, matanya turut tersenyum. Ibuku memiliki senyuman paling menawan. Rasanya siapa pun yang melihatnya pasti akan ikut tersenyum. "Mereka hidup bahagia. Tentu saja." Jawabnya.
Tapi Ruby di sampingnya tampak tidak setuju. Dia memutar bola matanya. Waktu itu dia masih berusia delapan tahun, tapi dia sudah cukup dewasa untuk anak seusianya. Keadaan keluarga lah yang memaksanya untuk dewasa dengan cepat. "Tentu saja. Itu kan cuma dongeng. Mana ada hidup bahagia selamanya. Pangeran akan bosan dengan putri jadi dia akan mencari selir. Putri akan ditinggalkan, di kurung di penjara berkedok Istana dan mabuk setiap malam hingga akhirnya tidur bersama—“
"Ruby..." Ibu menegurnya.
"Apa? Itu kan realistis, bu." Protes Ruby.
Ibu menghela napas, menyerah menghadapi anak sulungnya yang sifat kerasnya lebih mirip Ayah dari pada Ibu. Ibu kemudian mematikan api dan duduk di sampingku. "Apakah Crissy mau menikah dengan seorang pangeran jika sudah besar nanti?" Tanyanya.
Aku menggeleng. "Tidak mau."
"Kenapa?"
"Ibu bukan seorang putri. Ibu juga tidak menikah dengan seorang pangeran. Tapi ibu selalu tampak bahagia setiap hari. Aku ingin hidup seperti Ibu. Aku tidak akan menikah dan hidup bahagia seperti Ibu."
Ibu tersenyum mendengar jawabanku. Tapi ada rasa sepi di tatapannya saat dia berkata, "Tapi Ibu juga menikah."
"Ibu juga menikah? Ibu juga punya seorang pangeran?"
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Kill Your Rich Husband
FantasíaSebuah permintaan dari Istana sampai ke Keluarga Lenoir yaitu tugas untuk membunuh Putra Mahkota. Tidak diketahui siapa yang memintanya, tapi karena kesepakatan Keluarga Lenoir dengan keluarga Kaisar, Keluarga Lenoir harus melakukan tugas itu tanpa...