Chapter 31 : Devlin

364 36 3
                                    

Jika remaja laki-laki seusianya biasanya sedang bermain bersama teman-temannya, pergi meninggalkan rumah atau mulai membangkang pada orang tuanya, Devlin di usia remaja tidak seperti itu.

Lebih tepatnya, dia tidak bisa.

Dia ingin bisa bermain bersama teman-temannya, tapi dia tidak punya teman—hanya ada satu, dan temannya itu seorang putra mahkota yang tidak bebas dan terkurung di Istana dengan jadwal penuh. Devlin ingin meninggalkan rumah, tapi dia tak punya tempat tujuan. Tidak ada tempat yang akan menerimanya selain rumahnya. Devlin ingin membangkang pada orang tuanya, tapi dia tak punya orang tua. Maksudnya, orang tua sungguhan. Bukan hanya orang yang melahirkan dan membesarkannya, tapi juga mendidiknya, menuntunnya dan menjadikannya manusia yang baik. Devlin bukan manusia—darah ayah kandungnya dan darah ibu kandungnya membuatnya tidak bisa dikategorikan sebagai manusia. Devlin jelas bukan sesuatu yang baik—dia bahkan tak bisa mencoba menjadi baik. Devlin juga tak punya tujuan lain selain apa yang ditanamkan oleh wanita yang melahirkannya. Rasanya, begitu dilahirkan, dia langsung punya satu tujuan.

Hancurkan keluarga Lenoir untukku, Devlin. Aku melahirkanmu untuk tujuan itu dan hanya itu. Begitu lah yang selalu dikatakan oleh suara di dalam kepalanya. Suara seorang wanita yang selalu dia dengar sejak kecil. Suara ibunya. Wanita yang mengaku telah mengandung dirinya dan melahirkannya serta membawanya ke dunia kejam ini, namun tak pernah sekali pun menemuinya.

Wanita itu mengaku bernama Esmerantha Lenoir.

Esmerantha adalah ibu kandungnya, Devlin tahu itu, tapi bukan ibu yang membesarkannya. Sedangkan wanita yang membesarkannya, bukan ibu kandungnya. Wanita yang membesarkannya adalah salah satu istri ayahnya, yang juga bukan ayah kandungnya. Dan wanita yang dikira orang-orang sebagai ibu kandungnya, wanita yang sudah mati itu juga bukan ibunya. Keluarganya bukan lah keluarganya. Devlin senantiasa seorang diri, tanpa orang tua, tanpa sanak saudara. Dan jika saja Sang Putra Mahkota yang dia selamatkan dari hutan semasa mereka kecil tak menjadi temannya, dia sudah pasti tak memiliki teman sama sekali.

Hingga akhirnya seorang gadis berambut merah dan bermata merah seperti permata ruby muncul di tempatnya belajar membunuh, di Akademi Lenoir. Tak hanya itu, gadis itu juga muncul di rumahnya dan mengaku sebagai adik perempuannya.

Devlin tak memiliki adik perempuan. Gadis itu jelas bukan adiknya. Usia mereka juga hanya beda beberapa bulan. Tapi Devlin tak menyangkalnya.

Kemunculan gadis itu serta-merta merubah seluruh rencana ibunya. Mengacak-acak tujuan hidup Devlin secara instan hanya dengan muncul di hadapannya dan mendeklarasikan bahwa gadis itu akan merebut takhta Devlin sebagai pewaris utama keluarga Lenoir.

Devlin belum pernah merasa punya saingan sebelumnya. Dia selalu menjadi nomor satu di mata ayahnya. Tapi gadis itu mengancam posisinya. Gadis itu memiliki kemampuan yang aneh. Bukan hanya bisa membunuh para monster, gadis itu bisa menjinakkan para monster dan memikat mereka sehingga menuruti semua kemauannya. Dia bisa menjadi Ratu para monster dan dipuja oleh mereka. Bahkan pemimpin Hellhound menurut padanya seperti anjing jinak. Semua tunduk padanya.

Hingga akhirnya Devlin pun mulai tunduk padanya.

Perlahan, keberadaan gadis itu tak lagi terasa mengganggu. Saat gadis itu tak terlihat di rumah karena sedang menjalankan tugas kecil-kecilan dari ayah mereka, Devlin akan mencarinya. Dengan berbagai alasan yang terdengar masuk akal, dia akan meminta izin pada ayahnya untuk turut keluar dari rumah. Atau jika tidak mendapat izin, Devlin akan kabur. Dan mereka akan bertemu, mengobrol bersama sambil berburu monster. Membicarakan banyak hal hingga mereka mengetahui segalanya tentang satu sama lain.

"Aku punya seorang adik perempuan." Kata gadis itu suatu hari. Tatapannya setengah merenung. Matanya semerah namanya. Ruby.

Seharian itu mereka sudah membicarakan banyak hal hingga mereka hanya duduk berdampingan di atas tanah hutan yang kasar dan lembab, dengan pakaian dipenuhi noda darah monster, pedang di masing-masing tangan dan pemandangan bangkai-bangkai monster dengan bentuk yang ganjil—dan niscaya membuat siapa pun tidak nafsu makan berhari-hari—di hadapan mereka. Dan dengan situasi saat itu saja, Devlin sudah merasa puas. Bukan karena monster yang berhasil mereka habisi bersama, tapi karena duduk di samping gadis itu.

How To Kill Your Rich HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang