Ternyata ada cara bepergian yang cepat yang hanya bisa digunakan oleh orang-orang di Istana. Gerbang Batu Sihir yang tersembunyi di bawah Istana adalah salah satu peninggalan Kaisar pertama yang hanya digunakan untuk kepentingan mendesak seperti saat ini. Dengan melangkah melewati Gerbang Batu Sihir, dalam sesaat aku sudah berpindah tempat ke Tembok Mediva. Pasukan Istana juga sudah berada di sana.
Aku dengan cepat memeriksa situasi keadaan di sekitarku. Jendral Felix yang hanya pernah kulihat lukisannya di beberapa buku yang kubaca, pahlawan negara, pemimpin pasukan pertama yang mendampingiku ke Tembok Mediva mengatakan bahwa Istana telah mengerahkan tiga pasukan ke Tembok Mediva. Dua pasukan untuk melawan monster dan satu pasukan untuk mengamankan para warga. Tapi yang kulihat saat ini, hanyalah reruntuhan kota dan mayat-mayat tentara yang bergeletakan di jalan-jalan kota Mediva yang dibanjiri darah monster bercampur darah manusia. Rumah-rumah yang sudah dikosongkan, beberapa ada yang hancur sebagian, beberapa ada yang terbakar oleh monster yang dapat menyemburkan api, kebanyakan sudah tinggal puing-puing belaka.
Dalam hati aku berharap anak-anak jalanan yang kulihat saat itu sudah dievakuasi ke tempat yang aman. Tapi aku tidak berani membayangkan apa yang bisa terjadi pada mereka. Kuharap aku tidak melihat mayat anak-anak itu.
Aku dapat mendengar dentingan suara pedang prajurit tentara yang mengenai tanduk Minotaur. Strategi yang salah, tentu saja. Beberapa ada yang berusaha memenggal Manticore. Yang lainnya ada yang berkutat dengan werewolf dan siluman. Aku ingin menjerit frustasi melihat mereka semua mengerahkan tenaga dengan percuma. Tentu saja mereka tidak tahu cara membunuh monster dan titik lemah para monster. Mereka adalah prajurit Istana. Pasukan yang biasa dibawa ke medan perang. Untuk melawan manusia lainnya. Bukan untuk melawan para monster. Seharusnya mereka memanggil lulusan Akademi Lenoir atau murid-murid Akademi yang sudah terbiasa melawan para monster.
Suara teriakan para prajurit berbaur dengan raungan monster. Jerit putus asa beberapa warga yang masih terjebak di wilayah ini pun terdengar di telingaku. Harus mulai dari mana?
Masa bodoh! Habisi saja semuanya.
Aku berlari, melompat dan memenggal kepala salah satu werewolf yang kulihat tepat di depan mataku. Lalu berlari menuju salah satu ular raksasa berkulit baja dan menusukkan pedangku ke dalam rongga mulutnya. Lendir kehijauan mengotori pedangku, aku mengingatkan diri sendiri untuk menghindari lendir itu karena bisa membakar kulit dan membolongi tulangku. Tapi sebelum Si Ular jatuh tewas, aku sudah keburu melompat terjun ke bawah, dan berlari ke monster lainnya.
Untuk sesaat, aku tidak memikirkan apa pun. Aku hanya terus berlari, melompat, menusuk, membelah dan menebas monster-monster di sekitarku. Terkadang aku harus memanjat ke atas pohon atau reruntuhan rumah penduduk untuk melawan monster bersayap atau monster yang tingginya mencapai lebih dari sepuluh meter. Aku berlari dari satu monster ke monster lainnya. Terkadang ada beberapa siluman yang menyerupai wujud prajurit Istana, ada pula siluman yang menyerupai wujud rakyat jelata sehingga tidak ada yang curiga dan tidak ada yang melawannya. Aku menebas kepala siluman-siluman dengan cepat sebelum ada korban jiwa darinya. Para prajurit tidak ada yang melawan mereka karena tidak tahu, tapi aku bisa mengetahuinya berkat mataku ini. Seorang tentara melihat aksiku itu dan tampak terkejut bukan main.
"Kenapa kau membunuhnya?" Teriaknya.
Aku tidak memedulikannya. Aku tidak punya waktu luang untuk menjelaskan apa pun padanya, jadi aku segera berlari lagi menuju Manticore yang sejak tadi masih belum berhasil mereka tumbangkan.
Entah sudah berapa lama aku terus membantai para monster itu. Aku tidak merasa lelah sama sekali. Belum. Tapi jumlah mereka juga seolah tidak ada habisnya. Monster-monster terus berdatangan dari balik tembok. Ini lebih banyak dari jumlah monster yang pernah aku habisi malam itu sebelum kelulusanku dari Akademi. Dan banyak di antara monster-monster itu adalah monster kuat berukuran raksasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Kill Your Rich Husband
FantasiaSebuah permintaan dari Istana sampai ke Keluarga Lenoir yaitu tugas untuk membunuh Putra Mahkota. Tidak diketahui siapa yang memintanya, tapi karena kesepakatan Keluarga Lenoir dengan keluarga Kaisar, Keluarga Lenoir harus melakukan tugas itu tanpa...