Epilog

347 34 3
                                    

Ada banyak cara untuk membunuh Alexandrite. Ada banyak sekali, dan aku sudah mencoba semuanya. Tapi apakah ada cara untuk membuatnya membuka matanya kembali kini setelah dia terlelap dalam tidur panjangnya?

Masalahnya, kalau pun ada, aku tak dapat melakukan apa pun untuknya. Aku kini berada dalam penjara. Tangan dan kakiku dirantai di dinding besi. Sementara suamiku terbaring, terpejam tak bergerak di kamarnya di Istana.

Mereka bilang suamiku itu tidak mati. Tapi dia juga tidak hidup. Mungkin ada cara untuk membuatnya sadar kembali. Mungkin juga tidak. Semua hanya dapat menunggu.

Aku hanya tinggal menunggu sipir penjara datang untuk mengeluarkanku dan menuntunku menuju tiang gantung. Putri Mahkota yang didakwa atas tuduhan pembunuhan terhadap Putra Mahkota Clairentina.

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Bunyi sepatu bot yang mengisi keheningan seisi penjara. Ini adalah penjara khusus untuk anggota keluarga kerajaan yang akan dihukum mati. Jadi tak ada tahanan lain selain aku. Ironis sekali. Di saat aku benar-benar berniat dan berupaya untuk membunuh Alexandrite, tak satu pun menghukumku. Tapi di saat aku sama sekali tak berniat melukainya, di saat aku justru ingin melindunginya, aku malah berada di sini, bersiap menyambut kematian.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada seluruh keluarga Lenoir. Tapi mereka semua tak ada di sini. Jadi kuyakini mereka sama sekali tak mendapatkan hukuman yang sama. Hanya aku yang mendapat hukuman mati.

Ini aneh. Aku sama sekali tidak takut.

Untuk apa aku hidup kalau satu-satunya pria yang benar-benar mencintaiku, benar-benar peduli padaku, justru berada di ambang kematian. Aku akan memeluk kematian dengan suka cita.

Aku mencintainya.

Sialan. Aku mencintainya.

"Crystal Lenoir." Sebuah suara menyebut namaku tanpa gelar kehormatanku sebagai Putri Mahkota. Sepertinya sekarang aku sudah tak dianggap sebagai Putri Mahkota lagi. Aku hanya sekedar pembunuh yang menunggu tiang gantung merenggut napas terakhirku, menyisakan hanya namaku untuk dihujat dan dicela.

Aku mendongakkan kepala, berusaha melihat wajah terakhir yang akan kulihat sebelum tiang gantung. Cahaya lampu yang silau menghalangi pandanganku. Aku tak yakin siapa orang itu, tapi dia tak hanya berdiri di pinggir pintu penjara yang kini terbuka lebar. Dia masuk ke dalam sel penjara dan berlutut di hadapanku.

Sebuah cincin. Bukan, bukan cincin yang dikenakan oleh orang itu. Melainkan sebuah cincin di dalam kotak perhiasan yang terbuka yang dia ulurkan padaku.

Ah, aku pasti berhalusinasi. Apakah orang yang akan mati memang biasanya berhalusinasi seperti ini? Aku tak yakin.

Saat akhirnya mataku mulai menyesuaikan dengan cahaya lampu, aku dapat melihatnya dengan jelas. Mulai dari sepatunya. Itu jelas bukan sepatu sipir penjara. Sepatu itu seolah diciptakan untuk tak pernah menginjak apa pun selain karpet beludru. Begitu mengkilap dan bersih. Lalu pakaian. Pakaiannya sangan sederhana, hanya berupa kain putih dengan ornamen bordiran emas di pinggiran lengan dan kerahnya. Kemudian kulitnya. Kulit perunggu yang berpendar di bawah nyala lampu. Dan akhirnya aku menatap matanya. Mata biru laut yang juga berkilauan. Seperti laut yang diterpa cahaya matahari.

Mata itu tersenyum, serasi dengan senyuman di bibirnya.

Aku mengenal orang ini. Dan dia jelas bukan sipir penjara. Tidak. Sipir penjara takkan mengenakan mahkota. Mahkota untaian daun emas yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Zolla.

"Zlatan..." Napasku tercekat saat menyebut namanya.

Karena pria itu memang Zlatan. Seorang teman yang lama tak kutemui.

"Crystal Lenoir," ucapnya dengan aksen orang Zolla. Tangannya yang terulur padaku masih memegang kotak berisi cincin dengan permata hitam yang berkilau. "Jadilah Ratu Zolla. Jadilah Ratuku, dan bantu aku memburu Penyihir Hitam Esmerantha. Maka akan kubantu kau menemukan cara untuk membangunkan Pangeran Tampanmu itu."


***


(Cerita akan berlanjut ke : How To Wake Your Prince Charming)

How To Kill Your Rich HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang