PART 1

15.4K 1.5K 711
                                    

Hallooo para readers semua🥳🥳🥳
Apa kabar kalian hari ini?

Bentar lagi puasa ya. Alhamdulillah.
Kasihan yang sahurnya masih sendiri hihi.

Owh iya, saya mau ngabarin kalau berikutnya cerita ini akan update setiap Selasa & Sabtu. Tapi tentunya dengan syarat setelah 500 komentar hehe.😁

Bantu saya buat rekomendasikan cerita ini ke teman-teman pembaca yang lain. Kita sebar kebaikan, apalagi bulan suci Ramadhan.

Selamat membaca.🤗
Vote dan commentnya jangan lupa ya. FOLLOW juga.

***

(Revisi setelah end)

“Nak, jangan lupa juga minta notanya ya! Bilang juga salam abi buat Pak Hamid.”

“Na'am, abi. Tenang, abi kayak baru kali ini aja nugasin aku ngurus persediaan bulanan pondok,” jawab Adnan dengan suara beratnya. Satu tangannya memegangi handphone dan satu yang lainnya menerima secarik nota dari pemilik gudang, Pak Hamid.

“Ini berasnya kapan dibawa ke pondok ya pak?” tanya Adnan setelah mengucapkan amanat abinya tadi.

“Insya Allah besok, Ustaz. Salam balik juga buat Kiyai Luthfi, terima kasih sudah mempercayakan tempat kami untuk jadi pemasok beras pesantren sejauh ini.” Balas Pak Hamid. Mereka sudah bekerja sama sejak beberapa tahun terakhir. Sebelum-sebelumnya  Kiyai Luthfi lah sendiri yang mengurus soal persediaan beras pondok dan bertemu langsung dengan Pak Hamid, namun kali ini tugas itu berpindah kepada Adnan selaku anaknya yang kelak bakal mengganti posisinya di pesantren.

“Syukron jazaakallahu khair kalau begitu pak. Saya permisi undur diri dulu.” Adnan berlalu, keluar dari tempat itu dan menuju ke parkiran. “Semua sudah beres, abi. Aku langsung balik sekarang,” ucap Adnan mengakhiri percakapan dengan abinya melalu panggilan suara. “Assalamu’alaikum.” Klik, panggilan terputus.

Sebuah mobil kijang keluaran tahun 90-an terparkir di sana. Tidak lupa Adnan menengok sekilas ke jam yang ada di pergelangan tangannya. Pukul dua puluh satu kurang lima menit. Segera ia masuk, dan menstarter mobil yang sudah bisa dibilang antik itu. Namun ternyata gagal. Ia ulangi dan tetap saja sama. Penyakit lama mobil abinya itu ternyata kambuh lagi. Adnan lantas keluar, dan membuka kap mobil bagian depan. Menyentuh beberapa mesin di sana kemudian ia coba starter lagi, namun tetap saja gagal.

“Ada apa ya ustaz?” Pak Hamid yang melihat pemandangan itu datang mendekati Adnan.

“Biasalah pak, mobil abi ini sepertinya ngambek lagi hehe,” jawab Adnan sambil mencoba terus, berharap mobil tua itu mau menyala.

“Hari sudah larut ustaz. Antum bisa pakai motor saya saja dulu.” Pak Hamid menawarkan.

“Hmm gimana ya. Udah gak papa. Saya naik bus aja. Makasih tawarannya. Saya titip mobil di sini ya.”

“Ya udah kalau gitu, Taz. Hati-hati.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.” Adnan pun pergi. Keluar dari pekarangan gudang penyimpanan beras milik Pak Hamid. Kebetulan di depan jalan ada halte bus dengan jalur ke arah Pesantren Nurul Ilmi.

***

Sisa-sisa hujan sore tadi masih ada. Jalan-jalan berlubang penuh dengan genangan air. Adnan melihat keluar jendela yang berembun. Kurang lebih lima belas menit ia duduk di dalam bus, di kursi bagian belakang. tangannya mengapit tas selempang kecilnya yang melingkar di dada. Pikirannya mengawang, kembali mengingat mimpinya yang sama selama beberapa malam terakhir. Wajah gadis itu membuatnya penasaran, apa yang ada dipikiran sang gadis sehingga mondar-mandir seperti itu? Siapa namanya? Apa dia sedang ditimpa masalah? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Adnan. Namun secepatnya ia beristighfar, tersadar ia sudah terlalu jauh tenggelam dengan pikirannya sendiri. Apalagi sekarang dia sedang dalam perjalanan. Ia kemudian memperbaiki duduknya, lengan kemeja kotak-kotaknya yang ia gulung hingga siku, ia perbaiki lipatannya. Mencari kegiatan lain agar ia teralihkan dari lamunannya tadi. Karena perjalanan masih jauh, Adnan merogoh HP-nya dari dalam tas, ia buka aplikasi Al-quran, mengulang hafalan dalam hati sepertinya adalah pilihan yang tepat baginya saat ini. Begitu pikirnya.

Bibir Adnan mulai komat-kamit mengulang hafalannya secara sir (pelan), orang-orang di sekitarnya tidak ada yang memperhatikan. Mereka juga sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang sibuk bermain handphone, ada yang mengkhayal saja, bahkan ada juga yang sempat-sempatnya tertidur. Wajah-wajah mereka kebanyakannya terlihat lelah. Mungkin mereka baru saja melewati hari yang berat.

Adnan terus melanjutkan aktfitasnya dengan sungguh-sungguh, namun mendadak perhatiannya teralihkan, tidak jauh dari posisinya duduk sekarang ada seorang gadis muda yang sedang berusaha menyileti tas seorang ibu berpenampilan menor.

Melihat keadaan sekitarnya yang sibuk dengan ponsel masing-masing, sang gadis hampir menyelesaikan aksinya. Mungkin karena padatnya penumpang sehingga si ibu tidak meyadari tasnya berhasil disileti oleh gadis muda di sampingnya. Umur gadis itu masih terlihat muda, Adnan mengira-ngira mungkin umurnya sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun. Selain rambut pirang cokelatnya yang mencolok keluar dari topi biru yang ia kenakan, ternyata pada lehernya juga terdapat sebuah tato yang familiar bagi Adnan dan itu sangat menarik perhatiannya.

Setelah melakukan aksinya dengan menyelipkan dompet si ibu pada saku belakang, sang gadis bergerak mundur mendekati pintu keluar. Sebentar lagi perhentian pertama sebelum akhirnya sampai di Pondok Pesantren Nurul Ilmi. Sang gadis melompat turun, Adnan tidak tinggal diam. Dengan gerakan lincah dia juga bergegas mengikuti gadis itu.

Sang gadis berjalan melewati toko-toko, kemudian belok kiri dan masuk ke dalam gang sempit yang hanya diterangi pencahayaan minim. Adnan masih di belakang si gadis. Masih tetap menjaga jarak agar tidak dicurigai. Makin ke dalam, sang gadis makin berjalan cepat, dia mulai menyadari ada yang mengikutinya. Adnan juga mempercepat langkahnya agar tidak kehilangan jejak.

Ternyata Adnan salah, bukan dirinya yang dicurigai oleh gadis itu, tetapi segerombolan pria berotot berpakaian serba hitam yang kini menghadangnya dari depan. Adnan masih diam di tempatnya, melihat dari jauh. Jumlah pria di sana total ada lima orang. Terjadi obrolan yang sayup-sayup terdengar pada telinga adnan, hanya beberapa kata makian yang berhassil ditangkapnya.

Adnan terkesiap saat satu dari pria-pria itu bergerak maju dan menggertak untuk manampar sang gadis.

“Hey, apa-apaan nih!?” teriak Adnan mendekati kerumunan.

Gadis tadi bergerak mundur saat perhatian pria-pria di depannya teralihkan oleh sumber suara.

“Lo siapa ha? Berani-beraninya ikut campur urusan kami,” bentak salah satu dari mereka. Pria satu ini terlihat lebih sangar dan berotot dari yang lainnya. Adnan yakin kalau itu adalah bos dari gerombolan preman ini.

“Gue hamba Allah, yang datang agar lo-lo semua gak berbuat semena-mena di muka bumi,” timpal Adnan.

“Halah, banyak omong lo. Sikat!” Dengan isyarat anggukan singkat, pria itu memberikan kode kepada teman-temannya untuk menyerang.

Lima orang itu pun maju dengan wajah beringas seperti serigala kelaparan. Adnan tidak tinggal diam. Mentalnya tidak ciut hanya dengan situasi seperti ini. Meskipun sudah lama tidak bertarung sungguhan, tetapi ilmu bela dirinya masih melekat karena setiap tiga kali sepekan dia harus melatih para santri yang ada di bawah tanggung jawabnya.

Sang gadis yang tadinya hendak kabur mengambil peluang, justru tidak tega melihat pemuda di sana yang dikeroyok lima orang sekaligus. Dia kembali lagi dan bergabung bersama Adnan. Dua lawan lima.

“Bagian gue yang ini,” cetus gadis itu bersamaan dengan gerakan lincahnya menyerang dua orang di dekatnya.

Adnan bergerak tak kalah gesit. Menyelesaikan tiga orang sisanya. Perkelahian berlangsung sengit. Pukulan dan tendangan beradu saling balas. Sang gadis juga ternyata punya keahlian dalam bela diri. Dua lawannya cukup kualahan menghadapinya.

Di sisi gang yang lain, Adnan juga masih beraksi. Pelipsnya telah berdarah setelah satu pukulan lawan berhasil lolos. Tiga lawannya makin gencar melakukan serangan, Adnan terpojokkan. Satu dari mereka mengeluarkan pisau dari balik bajunya. “Mati lo!” teriaknya bersamaan dengan gerakan tikaman.

“Biadab!” hardik sang gadis. Tendangannya tepat mengenai bahu pria yang memegang pisau. Untung saja pisau tadi belum sempat mencapai perut Adnan. Melihat ada peluang, sang gadis menarik lengan Adnan. “Ayo lari!”

Preman-preman tadi ternyata tidak tinggal diam. Mereka menyusul dari belakang.

“Lewat sini!” ujar gadis itu memberi arahan. Dia seperti sudah hapal betul semua jalan tikus di sini. “Ayo cepat!” Sekarang keduanya berjongkok bersumbunyi di balik drum-drum yang tersusun secara acak di ujung gang. Tidak ada lagi pilihan lain selain bersembunyi.

“Tahan napas!” bisiknya saat terdengar suara orang-orang yang mengejar mereka.

“Kemana larinya jalang itu ha!?” Lagi-lagi hardik salah satu dari preman-preman itu. mereka berhenti di persimpangan gang. Adnan dengan gadis yang belum ia ketahui namanya itu bersembunyi tidak jauh dari sana. Keduanya menahan napas. Keadaan hening. Tidak lama setelahnya terdengar suara langkah mendekat.

“Sepertinya kita salah jalan bos,” ucap salah satu di antara preman-preman tadi. Tidak lama setelahnya, terdengar derap mereka yang menjauh. Mereka berputar arah.

“Haa ... selamat,” ucap sang gadis disusul hembusan napas lega.

“Astagfirullah hal adzim!!!” Adnan kaget. Cepat-cepat ia berdiri melepaskan genggaman tangan gadis itu pada lengan kemejanya yang ternyata sudah sedari tadi  saat mereka dikejar.

Gadis itu menatapnya heran kemudian bangkit. “Ngomong-ngomong makasih atas bantuannya tadi.” Lanjutnya, kemudian ia berjalan ke belakang drum dan mengeluarkan anak tangga yang terbuat dari kayu dan menyandarkannya pada dinding gang.

“Eh tunggu. Lo mau ke mana?” tanya Adnan saat gadis itu mulai memanjat.

“Pulang,” jawabnya santai. Kemudian bergegas pergi.

“Hey! Urusan kita belum kelar,” lanjut Adnan yang juga ikut bangkit dari sana.

Raut wajah sang gadis yang tadi merasa aman-aman saja karena sudah lolos, berubah menjadi khawatir. Dia lupa, kenapa sampai pemuda ini mengikutinya. Pasti gara-gara dompet yang dia ambil di bus tadi. “Tidak-tidak. Pasti bukan karena itu.” Ia mencoba menenangkan hatinya dan mencoba bersikap sewajarnya seolah tidak terjadi apa-apa.

“Ada apa lagi?” tanya si gadis ketus.

“Mana dompet yang tadi?” todong Adnan tanpa basi-basi.

***

Gimana nih untuk part satunya?

Penasaran part berikutnya gak?

Cerita ini bakal dilanjutin setelah 500 komentar ya.🤗

Bagi yang suka dan pengen cerita ini berlanjut, silakan koment "next" sebanyak-banyaknya.🥳🥳

Owh iya, maafkan atas segala typo dan kesalahan kaidah ya.🙏 Cerita ini masih draft  satu, jadi mohon ditandain jika ada yang typo. Biar mudah saat saya revisi nanti hehe.

Sampai jumpa di part berikutnya.🥳🥳

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang