PART 12

5.5K 849 553
                                    

Halloooo ....
Apa kabar?

Jangan lupa follow akun ini ya. Vote dan comment juga.

Yuk kita baca lanjutan cerita sebelumnya.🥳

***

(Revisi setelah end)

Ayda masih terngiang-ngiang dengan kabar yang dibawa oleh Inces. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Mereka telah selesai dari acara makan-makan. Irma duduk sambil menulis sesuatu di atas bukunya. Raya tidur di atas kasurnya. Begitu juga dengan Ayda, namun matanya tidak kunjung tertutup. Inces keluar lagi entah ke mana.

"Assalamu'alaikum." Terdengar salam di depan pintu kamar mereka yang sedang terbuka lebar. Seorang santri berdiri di sana.

"Wa alaikum salam. Na'am, Ukhti. Ada apa?" sambut Irma yang kebetulan duduk tidak jauh dari pintu.

"Di mana ukhti Raya? Ada telepon untuknya," ucap santri yang baru datang itu.

"Raya ... Raya. Ada telepon." Karena Raya yang tidak kunjung bangun setelah dipanggil namanya beberapa kali, Irma pun mendekati Raya dan menggoyang-goyang tubuhnya. "Raya bangun. Ada telepon dari rumah kamu."

Sontak Raya bangkit. Mengusap wajahnya yang kusut kemudian memperbaiki jilbabnya. Setelah itu dia keluar mengikuti santri yang tadi. Di PPNI, santri tidak dibolehkan menggunakan HP. Untuk menghubungi orang tua mereka, hanya boleh menggunakan HP asrama. Satu HP untuk semua santri. HP itu disimpan di idaroh.

***

Raya tiba di idaroh. Seorang mudabbiroh memberikan HP yang masih tersambung dengan keluarga Raya. "Jangan lama-lama ya!" ucap sang mudabbiroh sebelum memberikan HP itu kepada Raya.

"Na'am, Kak." Raya pun mengambil HP dan menjauh dari idaroh. Mencari tempat yang sepi.

"Hallo assalamu'alaikum," ucap Raya saat HP telah menempel di telingannya.

"Wa alaikum salam, Non. Ini bibi. Non apa kabar?" jawab suara di seberang.

"Baik, Bi. Ada apa ya?"

"Sebelumnya bibi minta maaf ya non. Bibi harap non jangan kaget."

"Iya," jawab Raya ketus. Dia sudah mulai mencium arah pembicaraan Bi Darmi.

"Ibu sama Bapak udah resmi bercerai. Semoga non bisa menerimanya."

Ketakutannya akhirnya terjadi. Dalam beberapa saat Raya terdiam.

"Non? Non?" Bi Darmi di seberang terdengar khawatir.

"Iya gak apa-apa kok bi. Aku udah tahu kok pasti bakal kejadian kayak gini. Makasih ya bi infonya. Udah dulu aku gak bisa lama-lama."

"Bentar Non. Ibu nitip pesan kalau minggu depan non akan dijemput pulang. Soalnya minggu depan akan jatuh keputusan hak asuh anak akan diberikan kepada siapa."

"Bilang aja gak usah repot-repot jemput aku. Aku gak mau tinggal dengan keduanya. Assalamu'alaikum." Raya menutup panggilan tanpa menunggu jawaban dari Bi Darmi. Raya benar-benar dongkol. Dia merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki keluarga harmonis. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehangatan keluarga sama sekali. Hari-harinya dia habiskan hanya dengan Bi Darmi. Kedua orang tuanya sibuk kerja dari pagi hingga larut malam. Kalau pun ada kesempatan untuk bersama, pasti diisi dengan pertengkaran hebat antara ibu dan ayahnya. Bahkan selama sekolah, Raya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya kedatangan orang tua untuk mengambilkan rapor anaknya. Hanya Bi Darmi atau asisten rumah tangga yang lain sebagai perwakilan. Kedua orang tuanya menganggap kalau uang sudah cukup untuk anaknya, padahal nyatanya Raya selalu kesepian.

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang