PART 21

5.5K 822 251
                                    

Halloooo ...
Apa kabar nih?

Yuk dibaca ceritanya.🥳🥳
Follow, vote, comment, share ok.

***

(Revisi setelah end)

Kegiatan haflatul khuruj semakin mendekati hari H. Ayda dan teman-teman panitia lainnya mengurus segala persiapan. Meskipun masih ada kecanggungan, namun Ayda perlahan-lahan mulai mengakrabkan diri lagi dengan santri lain. Hanya tinggal segelintir santri saja yang masih memandang sinis kepada Ayda.

"Hari ini kalian ada rapat lagi ya?" tanya Raya. Dia sambil melipat pakaian yang baru saja dia ambil dari jemuran.

"Iya. Tadi udah ada pengumuman untuk semua panitia haflatul khuruj," jawab Inces. Inces berdiri menghadap cermin merapikan jilbabnya. Raya berdiri tidak jauh dari situ menunggu giliran untuk merias diri.

"Kamu gak ikut Irma?" giliran Irma yang sekarang ditanya Raya.

"Aku ... aku kurang enak badan. Entar aku nyusul mereka." jawab Irma berusaha terlihat biasa saja.

Sempat Inces dan Ayda menatap curiga, namun kembali mereka abaikan karena waktu yang menunjukan hampir pukul lima sore. Mereka harus segera ke auditorium.

"Ya sudah, kami duluan ya Irma. Raya kami pergi dulu," seru Ayda menyusul Inces dari belakang.

Raya hanya menanggapi dengan anggukan kemudian melanjutkan kesibukannya sendiri. Sementara Irma hanya diam saja. Di kepalanya sedang sibuk mengatur ide bagaimana caranya bertemu dengan Zaki tanpa ketahuan santri lain, apalagi ustazah. Urusannya bisa panjang.

***

Sambil menengok kiri kanan berharap tidak ada yang mengikutinya, Irma berjalan cepat menuju sisi timur asrama putri. Kawasan ini merupakan daerah yang berbatasan dengan santri putra. Setibanya di sana, seseorang telah menunggunya, Santri dengan setelan kemeja putih dan celana kain berwarna hitam. Santri bernama Zaki itu juga merasa was-was, takut jika ada yang melihat mereka.

"Kamu sudah lama Zaki?" tanya Irma setibanya di sana. Irma berdiri tidak jauh dari Zaki. Tetap menjaga jarak dengan tatapan menunduk.

"Lumayan. Ada apa, Irma? Maksud kamu di surat terakhir yang kamu kirim itu apa?" Zaki langsung ke inti obrolan. Biar mereka cepat kembali ke asrama masing-masing.

"Di surat itu udah jelas, Ki. Aku mau kita udahan aja. Kita sama-sama tahu ini berdosa Zaki. Tapi kenapa masih kita lakukan?"

"Kan kita gak ngapa-nggapain. Apa salah kalau kita merasakan cinta?" Zaki membela diri.

Irma menutup mata. "Bukan cintanya yang salah. Tapi cara kita mengapresiasikannya yang keliru. Kalau emang kamu serius dengan perasaan kamu itu, silakan jaga dan pendam hingga kita lulus. Lamar aku di depan abi."

"Ini bukan hanya alasan kamu karena kita nyaris ketahuan kan?"

"Itu teguran Allah buat kita Zaki. Biar kita tidak keliru lagi. Itu bukti kalau Allah masih sayang kepada kita. Terserah kamu kalau gak mau nerima, aku ingin kita udahan aja. Buktikan kalau kamu emang benar serius. Aku gak maksa juga kalau kamu milih perempuan lain nantinya. Aku pasrah, biar Allah yang atur semuanya. Afwan Zaki. Assalamu'alaikum."

Setelah mengakhiri kalimatnya, Irma bergegas pergi. Adapun Zaki masih terpaku. Dia merasa terhantam oleh kata-kata Irma barusan. Perasannya berkecamuk. Isi kepalanya bertengkar. Dia masih sayang kepada Irma, tapi dia harus akui ucapan Irma tadi ada benarnya. Dengan penuh tekad dia berazam agar bersungguh-sungguh menjaga hati buat Irma. Dari caranya menolak ajakan bermaksiat, dia yakin Irma adalah gadis yang pantas diperjuangkan.

***

Ayda dan Inces bergegas. Mereka hampir telat. Setibanya mereka di auditorium mereka langsung bergabung dengan santri yang lain. Duduk di kursi paling belakang. di bagian depan para panitia inti sedang memaparkan rancangan ide untuk acara nanti. Termasuk Zakiyah, dia yang paling mendominasi karena dia menjabat sebagai ketua panitia. Acara rapat berlangsung sekitar empat puluh menit. Karena sebentar lagi masuk waktu Magrib, rapat akan dilanjutkan besok.

"Assalamu'alaikum, Kak." Ayda menyapa Zahroh saat mereka telah bubar.

"Wa alaikum salam, iya Ayda. Ada apa?" Zahro balik badan saat mendengar namanya disapa.

"Katanya kakak gak ikut kepanitiaan ya?" Ayda melanjutkan.

"Iya nih. Soalnya ada kegiatan MTQ tingkat kabupaten dalam waktu dekat. Mau fokus buat latihan. Hmm tapi aku tetap ikut kok kalau hanya bantu-bantu."

"Inces, Ayda." Zakiyah muncul dari samping. "eh ada Kak Zahroh juga. Afwan Kak aku ada perlu dengan ukhti Ayda."

"Owh silakan-silakan."

Ayda dan Zakiyah pun sedikit menjauh dari Inces dan Zahroh. Mereka melanjukan obrolan.

"Ini kamu pegang ya, ini sebagian dana untuk acara yang sudah cair." Zakiyah menyodorkan amplop putih berisi sejumlah uang kepada Ayda. "Yang ini buku catatan untuk setiap ada pemasukan dan pengeluaran. Semuanya dicatat oke." Buku album dengan motif batik juga disodorkan Zakiyah. Yang terakhir Zakiyah menyodorkan kunci yang dia keluarkan dari saku gamisnya. "Ini kunci laci meja yang ada di ruangan mudabbiroh, bisa kamu pakai buat menyimpan buku sama uang itu kalau kamu ragu menyimpannya di dalam kamar."

"Oke, Kak. Makasih banyak." Ayda tersenyum. Dia kembali bersemangat. Ternyata orang-orang di sekitarnya sudah mulai bisa menerimanya. Untuk masalah surat waktu itu sepertinya mereka sudah lupakan.

Zakiyah mengangguk, kemudian pergi setelah berpamitan juga dari jauh kepada Zahroh yang sedang mengobrol dengan Inces.

"Pokoknya kali ini aku harus jaga kepercayaan ini. Bismillah." Ayda bertekad dalam hati.

***

Keesokan harinya para panitia dan pengurus kegiatan kelulusan kembali mengadakan rapat di waktu yang sama. Jam lima sore. Kali ini Irma ikut serta bersama Inces dan Ayda. Urusannya dengan Zaki sudah selesai. Dia telah menyandarkan semua urusannya kepada Allah. Untuk kali ini mereka tidak telat. Bahkan mereka mendapat tempat duduk paling depan.

"Ayda, buku catatan yang kemarin mana? Kamu bawa?" tanya Zakiyah setelah mencari-cari Ayda di anatara para panitia lain.

"Aku gak bawa, Kak," jawab Ayda apa adanya.

"Bisa tolong kamu ambilkan?" titah Zakiyah lagi.

"Bisa kok, Kak. Entar ya. "Ayda pun bangkit dan menuju ruangan mudabbiroh. Uang dan catatan yang dikasih Zakiyah kemarin ia simpan di situ. Dia merasa itu tempat yang lebih aman dibanding kamar. Lemarinya di kamar tidak memiliki kunci. Wajar kalau dia merasa khawatir kehilangan. Apalagi ini adalah uang pesantren, dalam jumlah besar pula.

Alangkah kagetnya Ayda setelah membuka laci meja tempat dia menyiman catatan dan uang kemarin. Di dalam laci hanya ada buku catatan, amplop dan isinya entah hilang ke mana. Ayda memeriksa laci lain. Membuka-buka tumpukan-tumpukan berkas di atas meja. Namun amplop itu tidak kunjung dia temukan.

Ayda benar-benar panik. Baru saja dia dipercayakan memegang amana yang lumayan besar, tapi dia justru lalai.

***

Ke mana ya kira-kira uangnya? Ada tuyul hehe.

Makin seru nih. Kita tinggal berapa part lagi udah end. Jadi semangat ya buat commentnya.

Target di part-part sebelumnya belum tercapai. Kita lanjut ke part berikutnya kalau comment masing 500 dari part 18-21 udah tercapai ya.

Ditunggu. 🥳🥳🥳
Katanya suka ama ceritanya, kok malas bantu comment biar lanjut ceritanya hehe.

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang