PART 24

5.4K 841 96
                                    

Hallo semuaa ...
Gimana kabar kalian?
Kangen Ayda gak? Hehe
Jangan lupa vote dan comment ya. 🥳🥳🥳
Yuk dibaca ...

***

(Revisi setelah end)

Ayda tiba di dalam kamarnya dengan emosi yang tertahan. Ada rasa kecewa karena merasa diperlakukan tidak adil di pesantren ini. Namun ada juga rasa sedih jika harus pergi dari sini. Apalagi harus meninggalkan teman-teman sekamarnya. Yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri.

“Assalamu’alaikum.” Ayda masuk dari balik pintu. Wajahnya terlihat lemas.

“Wa-wa’alikum salam.” Inces, Irma juga Raya ada di sana. Mereka juga bingung. Apa yang harus mereka lakukan untuk meghibur sahabat mereka itu.

Tanpa kata-kata sama sekali, Ayda langsung menuju lemarinya. Tiga sahabatnya hanya bisa diam menyaksikan. Tas yang ia gantung di atas lemari digapainya. Ia keluarkan juga beberapa potong pakaian dari dalam lemari. Tidak lupa buku Iqro’ miliknya ia selipkan dalam tas.

Inces tidak tahan. Ia sudah bisa menebak akhir dari permasalahan Ayda ini. Ia pun langsung berhambur memeluk Ayda . “Jadi kamu beneran mau pergi dari sini, Da?” Isak Inces tak terbendung lagi. Irma dan Raya juga mendekat.

Ayda tidak membalas. Matanya mulai berkaca-kaca. Secepat itukah perpisahan? Satu per satu bulir air matanya menetes tanpa ia sadari.

“Ayda, kamu yang sabar ya. Jangan lupain kita.” Raya mengusap punggung Ayda. Terlihat juga dari tatapan Raya sebuah perasaan kehilangan. Semua ternyata berjalan begitu singkat. Baru saja mereka bertemu beberapa waktu lalu. Pertengkaran juga perdebatan kecil dan keseruan mereka berempat bermain di kepala. Adapun Irma hanya terpaku. Matanya juga berkaca-kaca.

Pakaian Ayda tidak banyak. Semua sudah masuk ke dalam tas. “Aku minta maaf ya kalau aku punya salah ke kalian,” ucap Ayda dengan kepala tertunduk. Tidak lama ia angkat kepalanya kemudian menatap wajah sahabatnya satu per satu.

Inces semakin erat pelukannya. Raya juga tidak bisa menahan diri. Ia juga ikut memeluk tubuh Ayda. Irma juga begitu. “Malam ini aku pergi,” ucap Ayda. Ada rasa sesak dari kalimatnya itu. Waktunya memang singkat, tapi begitu banyak hal yang ia dapat di sini. Pesantren ini sudah mengubahnya begitu banyak dan ia akui itu.

“Jangan lupakan kami Ayda. Kita tetap saudara sampai kapan pun,” seru Inces. Kepalanya tenggelam di pundak Ayda.

***

Tidak lama setelahnya, terdengar suara ketukan di pintu kamar mereka. “Assalamu’alaikum. Min fadlik. Ukhti Ayda huna? (Permisi, apa ada saudari Ayda di sini?)” tanya seorang santri yang kini berdiri di depan pintu kamar mereka. 

“Wa’alaikum salam. Iya ada apa ya?” Inces yang menjawab.

“Ukhti Ayda dipanggil Ustazah Muniroh agar ke idaroh segera.” 

Na’am.” Ayda meletakkan tasnya di samping lemari. Santri yang tadi telah beranjak duluan setelah laporannya diterima.

“Ayda, kami ikut,” seru Irma sebelum Ayda mencapai daun pintu. Inces, Raya dan Irma pun menyusul. Mereka berempat berjalan menuju idaroh. Sesampainya di sana, hanya Ayda yang masuk ke dalam. Sementara tiga sahabatnya menunggu di luar ruangan.

“Assalamu’alaikum,” ucap Ayda. Ternyata di dalam idaroh telah berkumpul beberapa orang. Ada empat orang mudabbiroh; termasuk Zakiyah, beberapa orang ustazah, Juga Ustaz Adnan yang duduk berbatasan meja dengan Ustazah Muniroh.

Wa’alaikum salam. Ta’alii huna Ayda! (ke sini Ayda!)” panggil Ustazah Muniroh. “Ijlisi! (duduk!)” Lanjut Ustazah setelah ayda berdiri di samping meja, kemudian menggeser kursi agar Ayda bisa duduk. Ayda duduk di sisi meja sebelah kanan dari posisi Ustazah Muniroh duduk.

“Jadi, apa sudah bisa kita mulai saja Ustazah?” ucap Ustaz Adnan setelah semua sudah berkumpul. Beliau juga meletakkan lembaran-lembaran yang sedari tadi ia pegangi.

Na’am, Ustaz. Tafaddol! (silakan!)” jawab Ustazah Muniroh.

Ternyata lembaran yang dipegangi Ustaz Adnan itu adalah surat-surat yang pernah ditemukan di dalam lemari Ayda saat razia beberapa waktu lalu. “Saya minta maaf sebelumnya ke pihak idaroh santri putri. Di sini saya tidak bermaksud membela Ayda. Apalagi sekarang dia sudah resmi dipecat sebagai santri. Hanya saja saya ingin sedikit mengklarifikasi, apalagi waktu itu Ayda mengatakan kalau bukan dia pelakunya. Dari surat-surat ini saya menemukan kalau itu bisa saja terjadi.” Ustaz Adnan menjelaskan dengan perlahan.

“Maksudnya ustaz?” tanya Ustazah Muniroh, sedikit kurang paham dengan apa yang disampaikan Ustaz Adnan.

Ustaz Adnan kemudian melanjutkan. “Coba perhatikan di surat-surat ini.” Lembaran-lembaran surat itu dibukanya satu per satu. Diperlihatkan kepada Ustazah Muniroh. “Coba perhatikan tanggal-tanggal pada suratnya.” Ustazah Muniroh memperhatikan apa yang ditunjuk Ustaz Adnan. Ayda juga mendongakkan kepala biar bisa melihat. “Waktu yang tertera di situ adalah waktu di mana Ayda belum masuk ke pesantren ini bukan? Kita hanya termakan tuduhan, apalagi hanya karena melihat latar belakang Ayda, sampai-sampai hal detail seperti ini tidak sempat kita perhatikan.” Lanjut Ustaz Adnan.

Ustazah Muniroh meraih kertas-kertas itu dan memeriksa ulang. Dibukanya lagi satu per satu. Kemudian diam sejenak, mengingat-ngingat kapan waktu penerimaan santri baru. “Na’am sohih,” ucap Ustazah spontan. Setelah itu ia menatap Ayda. “Ini emang bukan kamu ‘kan pelakunya?” Lanjut Ustazah meyakinkan.

“Na’am, Ustazah. Bukan saya,” jawab Ayda. Ada perasaan lega di dadanya. Akhirnya Allah menunjukan kekuasaan-Nya, keadilan-Nya kepada hamba yang dizholimi.

“Berarti ada yang sengaja melakukan ini. Mendramatisasi sehingga Ayda jadi yang tertuduh. Ini harus diusut oleh pihak idaroh,” seru Ustaz Adnan serius.

Semua yang ada di sana terdiam. Ustazah Muniroh juga merasa bersalah karena sudah salah dalam menghukum. Ayda ternyata adalah korban. Di tengah keheningan tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu. Dan ternyata itu adalah Irma. Bersama dua temannya mereka mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan. “Afwan ustazah, saya momotong obrolan. Saya minta maaf dan mengaku salah,” ucap Irma.

Semua mata tertuju kepada Irma. Raya dan Inces juga bergabung bersama Irma. Mereka juga bingung entah pengakuan apa yang disampaikan oleh Irma.

“Sekali lagi saya minta maaf kepada para mudabbiroh dan ustazah. Terutama kepada Ayda. Saya mengaku salah. Sebenarnya surat-surat itu adalah milik saya. Saya sudah melakukan kesalahan menjalin hubungan dengan santri putra. Hanya saja, saya berani bersumpah. Wallahi bukan saya yang meletakkan surat-surat itu di dalam lemari Ayda. Awalnya surat itu ada di lemari saya, bahkan ada di tumpukan pakaian saya yang paling bawah. Saya benar-benar tidak tahu. Untuk perkara surat itu, saya siap dihukum.” Irma mengakui.

Semua terdiam. Mereka tidak menyangka, seorang Irma yang terkenal sangat kalem dan merupakan santri teladan ternyata berani melakukan pelanggaran itu. “Kamu serius Irma? Bukan karena sedang membela sahabat kamu ‘kan?” timpal Ustazah Muniroh.

Wallahi tidak sama sekali Ustazah. Bahkan saya berani menyebut nama santri laki-laki yang berkirim surat dengan saya itu. Saya sadar akan kesalahan ini. Saya juga telah berhenti melakukannya. Semoga Allah mengampuni saya.” Balas Irma.

“Kalau itu benar punya Irma, berarti ada lagi pelaku lain yang memindahkan surat-surat ini.” Suara Ustazah Muniroh mulai meninggi. Satu-satunya yang mesti ditanyai adalah para mudabbiroh. Karena mereka yang masuk ke dalam kamar santri di hari kejadian. Sekarang pandangan Ustazah berpindah ke arah Zakiyah dan teman-temannya. “Siapa mudabbiroh yang memeriksa kamar Ayda dan teman-temannya?” Suara Ustazah terdengar tegas. Ini benar-benar bukan kesalahan ringan. 

Para mudabbiroh yang ada di situ saling tatap. Zakiyah lah yang paling pertama memeriksa kamar Ayda, setelah itu baru mudabbiroh yang lain. Zakiyah terlihat gugup dan memberanikan diri membuka suara. “Afwan, Ustazah,” ucapnya terbata dengan kepala yang kini tertunduk. “Saya ….” Zakiyah diam sejenak mengatur kata-kata selanjutnya.

***

Ada apa yaaaa kira-kira? Hehe
Ditunggu part sepanjutnya.🥳🥳
Hmm makin ke sini makin sepi kolom komentarnya hehe.
Yuk komen yang banyak.🥳
Sampai jumpa di part berikutnya ya.

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang