PART 3

8.4K 1.2K 643
                                    

Halloooooo ...
Gimana puasanya hari ini?
Lancar? Semoga lancar ya hehe.

Udah part 3 nih, makasih udah ngikutin cerita ini. Ajak teman-teman pembaca lainnya juga ya.🥳🥳

Yuk kita masuk ke ceritanya ...

***

(Revisi setelah end)

Satu bulan berlalu setelah acara haflah takhorruj Pondok Pesantren Nurul Ilmi. Dan sekarang saatnya pendaftaran untuk santri baru semester berikutnya. Tidak jauh dari depan aula, di sebelah timur berdiri sebuah tenda dengan spanduk besar bertuliskan “TEMPAT PENDAFTARAN” semua hurufnya sengaja ditulis balok biar kelihatan meskipun dari kejauhan. Mempermudah para pendaftar yang baru pertama kali ke pesantren ini.

Ada dua meja sebagai tempat registrasi, masing-masingnya bertanggung jawab seorang santri yang duduk di sana. Selain mereka berdua, ada juga di sekitarnya beberapa santri dengan almamater sama, biru dongker. Hari ini sudah lumayan yang mendaftar, memang banyak yang sangat antusias menanti pendaftaran santri baru PPNI.

“Ini formulirnya ya, Bu. Mohon diisi dulu sama anaknya,” ucap seorang santri berwajah ceria sembari menyodorkan kertas pada ibu dan anaknya yang duduk di sebelah meja.

“Makasih, Nak.” Si ibu mengambil pulpen dan memberikannya kepada anaknya yang masih malu-malu.

Kegiatan seperti itu berlangsung beberapa saat. Orang tua calon santri baru bergantian datang dan duduk di kursi pendaftar. Hari menjelang siang, dari arah idaroh (kantor) datang Ustaz Adnan yang kebetulan ditugaskan abinya sebagai koordinator, mengontrol santri yang bertugas sebagai panitia.

“Assalamu’alaikum. Bagaimana hari ini?” sapa Ustaz Adnan saat tiba.

“Wa’alaikum salam. Aman, ustaz,” jawab salah seorang santri di sana. Kebetulan belum ada lagi pendaftar yang datang.

“Apa ada kendala?” Ustaz Adnan memastikan.

“Ini ustaz.” Santri tadi membuka laci dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. “Kertas formulirnya tinggal ini,” ucapnya kemudian, sembari mengangkat kertas formulir yang dia maksud.

“Sini kalau begitu. Biar saya saja yang pergi fotocopy di depan. Ada lagi?” tanya Ustaz Adnan.

“Itu aja ustaz. Afwan ustaz, kami saja yang keluar fotocopy, hari sedang terik-teriknya.” Dengan penuh sopan santun seorang santri menawarkan diri.

“Udah gak papa. Saya saja. Sekalian ada keperluan juga di depan.” Adnan memang tipe yang tidak mau banyak perintah, apalagi jika hal itu bisa dia kerjakan sendiri. Namun hal inilah yang membuat para santri semakin segan kepada beliau. Mereka juga ingin memuliakan guru mereka.

Adnan keluar berjalan kaki menuju pintu gerbang pesantren sembari memegangi kertas formulir pendaftaran. Di depan pesantren memang terdapat toko-toko kecil yang berjejer, termasuk toko alat tulis sekaligus tempat fotocopy. Karena selain pesantren, di sekitar situ juga terdapat sekolah SD dan SMP, jadi memang tempat yang strategis buat para pengusaha.

Setelah keluar, Adnan berjalan ke arah kiri melalui terotoar. Jalan di depan sedang ramai-ramainya oleh kendaraan. Adnan berhenti di depan sebuah toko dengan palang di depan bertuliskan fotocopy dan cetak foto. Adnan pun mampir.

“Permisi, Pak. Mau fotocopy ini lima puluh rangkap.” Adnan menggeser kertas ke arah bapak berkopiah putih di depannya.

“Eh Ustaz Adnan. Kenapa gak suruh anak-anak sih ustaz?” sapa Pak Zikir yang memang sudah mengenal baik Ustaz Adnan. Bahkan Sebagian besar santri dan pengajar di pesantren sudah dia kenal karena jadi pelanggannya. Beliau juga solat berjama'ah di masjid pesantren dan sesekali mengikuti kajian rutin yang diadakan.

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang