PART 5

7.5K 1K 558
                                    

Hallo semua ...🥳🥳🥳

Gimana puasanya? Lancar? Harus lancar dong masa gak.🫣😁

Gak kerasa udah part 5 aja nih hehe.

Makasih udah ngikutin cerita ini ya.
Ajak juga teman-teman pembaca yang lain buat mampir. Biar kita makin rame.

Yuk kita baca ceritanya. Ambil posisi ternyaman.🤗

***

(Revisi setelah end)

Salat zuhur secara berjamaah di Masjid Ummul Mukminin, masjid khusus santri putri telah selesai dilaksanakan. Awalnya Ayda enggan diajak salat berjamaah. Namun karena ajakan Inces yang pantang menyerah, akhirnya Ayda menurut saja. Seratus lima puluh lebih santri terkumpul di sini. Seragam mereka beragam. Ada yang hijau tua, biru tua, cokelat dan hitam polos. Warna seragamnya tergantung kelas masing-masing. Pengecualian untuk mudabbiroh (pengurus asrama) mereka ada tambahan almamater biru dongker sebagai ciri khasnya.

“Halaqoh … halaqoh.” Beberapa orang mudabbiroh berdiri memberikan perintah menggunakan bahasa Arab. Santri yang lain seperti sudah tersetting, secara otomatis langsung melingkar membentuk grup-grup kecil sesuai kelompoknya masing-masing. Begini rutinitas santri PPNI, setiap setelah salat zuhur, mereka tadarusan selama tiga puluh menit yang dikoordinir oleh para mudabbiroh yang bertugas.

Ini kesan pertama Ayda bergabung bersama santri yang lain. Suasana ini benar-benar baru baginya. Mukena putih pemberian Kak Zahroh tadi yang ia kenakan, juga wajah yang baru terlihat, membuat beberapa orang santri saling berbisik.

Ayda sempat bingung akan bergabung ke kelompok yang mana, tetapi Inces langsung menarik tangannya bergabung bersama kelompok kecil mereka. Di situ juga ada Raya. Irma tadi langsung keluar karena masih bertugas. “Mushaf kamu mana?” tanya Inces.

“Mushaf?”

“Iya, al-qur’an kamu mana?”

“E-e … aku … aku—”

“Ada apa ini? Kenapa malah ngobrol? Anti, aynal mushaf?” Seorang mudabbiroh mendekat.

“Afwan, Ukhti. Hiya toolibatun jadidah huna. Mushafuha fiil gurfah,” sela Inces dengan bahasa Arab yang tidak kalah fasih.

“Ya udah kalau begitu, kamu boleh pakai al-qur’an yang di sana.” Santri senior yang tadi menunjuk ke rak di dekat dinding bagian depan masjid.

Ayda tertunduk “A-aku. Aku gak bisa. Aku—aku belum bisa baca qur’an.”

Santri yang lain yang segrup, yang mendengar ucapannya barusan, melempar pandang kepada Ayda, termasuk Raya.

Santri senior yang bertanya tadi mencoba menstabilkan suasana. “Udah-udah! Yang lain lanjut ngajinya. Kamu, siapa nama kamu?”

“A-ayda, Kak.”

“Semua lanjut tadarrusannya kecuali Ukhti Ayda. Kita semua yang ada di group ini punya tugas dan kewajiban bersama bagaimana agar saudari kita satu ini bisa baca al-qur’an.” Sebuah senyuman tulus tergambar.

Ayda masih menunduk. Belum berani mengangkat muka. Teringat betapa lalainya dia di masa lalu. Sampai-sampai membaca al-qur’an pun tidak bisa. Dulu saat masih bersama kedua orang tuanya Ayda sangat malas jika disuruh belajar mengaji di surau dekat rumahnya. Dan akhirnya saat inilah baru ia sesali semuanya.

***

Para santri bubar. Halaqoh siang ini telah selesai. Di kelompok Ayda juga begitu. Teman-temannya yang lain sudah keluar dari masjid, Raya juga. Ayda masih dibimbing Inces untuk mengeja buku iqro’ yang sekarang ada di hadapannya.

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang