PART 2

10.9K 1.2K 686
                                    

Hallooo semuaaaa ....

Gimana kabar hari ini?

Udah siap baca part lanjutan belum? Hehe

Jangan lupa follow akun ini ya. Ada banyak cerita menarik yang bakal saya sajikan untuk kalian.🤗

Yuk dibaca ...

***

(Revisi setelah end)

Gadis itu masih terpaku. Adnan yang kini telah berdiri, menengadahkan tangan meminta dompet yang dimaksud.

“Dompet apa? Gue gak paham maksud lo apa?” Bukannya mengaku, si gadis justru berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Gak usah sok polos deh! Gue lihat sendiri lo ngambil dompet ibu di bus tadi ‘kan? Ayok cepat kasih ke gue sini.” Adnan tidak menyerah. Dia yakin tidak mungkin dia salah lihat.

“Jadi lo nuduh gue copet gitu?”

“Bukan nuduh, tapi emang kenyataannya gitu kan? Sini cepet, atau gak ayok kita ke kantor polisi biar urusan ini jelas.”

Mendengar kata polisi, gadis itu mendadak ciut. Dia mundur beberapa langkah. “Kalau dompet ini gue kasih lo, emang lo mau bayar gue berapa atas kemurahan hati gue ha?”

Adnan pun merogoh tas selempangnya yang masih nyaman melingkar di dada, mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar uang seratus ribu. “Segini cukup?” tanya Adnan.

Si gadis tidak sepolos itu ternyata. Tidak lama berselang ia juga membuka dompet yang ia curi, ia intip isi dompet itu, ternyata tawaran dari pemuda yang ada di hadapannya sekarang memiliki nilai yang lebih besar. Sontak gadis itu pun mengangguk setuju. Transaksi tukar menukar dompet dengan uang Adnan itu pun terjadi.

“Makasih ye.” Gadis itu tertawa puas, bisa-bisanya ada orang yang seaneh pemuda di hadapannya, begitu pikirnya. Kemudian ia pun berlalu karena merasa urusannya sudah selesai.

Di sisi lain, Adnan juga puas karena berhasil mengambil dompet milik ibu yang menjadi korban tadi. Bagi adnan, pencurian atau sejenisnya kebanyakannya dilakukan karena kesempitan hidup dan biasanya mereka melakukannya secara terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Karena itulah selain membantu ibu yang kecopetan, dia juga berharap bisa membantu gadis tadi keluar dari kesempitannya. Dan dia juga berharap semoga itu menjadi pelajaran berharga bagi dirinya dan gadis pencopet itu agar tidak mengulangi lagi.

Adnan kembali ke arah jalan raya. Berharap ibu pemilik dompet masih menunggunya di halte. Kalau pun tidak, Adnan berniat akan mengembalikannya besok. Di dalam dompet ada kartu nama si ibu. Dan ternyata alamatnya juga tidak begitu jauh dari Pondok Pesantren Nurul Ilmi.

***

Suasana qo’ah (aula) mendadak redup. Suara desiran angin padang pasir bergemuruh setelahnya. Sayup-sayup terdengar pula suara azan, pun suara lirih yang berbunyi “ahadun … ahad!” yang diulang-ulang dan semakin mengiris hati siapa yang mendengarnya. Panggung utama terang kembali setelah itu. Telah berdiri di sana beberapa santri yang berpenampilan sesuai tokoh yang mereka perankan. Beberapa di antaranya menggunakan jubah panjang dan sorban yang dililit di kepala, juga jenggot buatan yang menutupi sebagian wajah mereka. Dan di tengah-tengah kerumunan itu seorang santri yang lain sedang terbaring dan ditindih menggunakan sesuatu yang seperti bongkahan batu besar. Ya mereka sedang memainkan drama kisah sahabat yang mulia Bilal Bin Robah.

“Kembalilah kepada agama nenek moyangmu wahai budak Habasyah!” teriak salah seorang di antara mereka.

Ahadun … ahad,” jawab santri yang terbaring yang bertugas menjadi Bilal.

Para hadirin terpukau. Semua terdiam mengikuti alur cerita yang dimainkan. Lampu-lampu di panggung utama kadang terang dan kadang perlahan meredup, membawa suasana semakin pilu bagi siapa yang menyaksikan. Drama diakhiri dengan peluk seoarang sahabat bernama Abu Bakar yang akhirnya menebus Bilal. Para hadirin berdiri dan bertepuk tangan riuh. pementasan drama ini sebagai akhir dari acara Haflah Tahkhorruj (wisuda) Pesantren Nurul Ilmi yang diadakan setiap akhir semester.

Seorang santri yang bertugas sebagai moderator pada acara kali ini kembali naik ke atas panggung setelah para pemain drama tadi pergi ke belakang. Para hadirin kembali tenang.

“Dengan berakhirnya penampilan drama tadi, maka berakhir pula acara kita pada malam hari ini. Marilah kita sama-sama mengucapkan alhamdulillahi robbil alamin acara ini kami tutup. Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh,” ucap sang moderator dengan intonasi khasnya.

Para hadirin serentak menjawab salam tadi. Mereka saling berjabatan tangan kemudian. Acara kali ini, selain para santri baik putra dan putri, orang tua santri, juga masyarakat sekitar pesantren turut menghadiri. Tidak lupa juga para tokoh pemerintah setempat. Kiyai Luthfi sebagai pimpinan pondok yang duduk paling depan berdiri, berjabatan tangan juga dengan yang ada di sekitarnya. Beliau menengok ke sekitar, mencari keberadaan Adnan. Namun beliau tidak melihatnya ada di sana.

Satu per satu para tamu keluar dari aula, begitu juga para asatiz dan pengajar lainnya. Tinggallah di sana para panitia yang bertugas. Acara sudah selesai, namun kewajiban mereka belum selesai hingga aula kembali bersih seperti sebelum kegiatan. Para panitia putri bergegas mencari sapu, sebagiannya mencopot hiasan-hiasan yang ada di panggung. Karena pesantren ini sangat menekankan batasan antara lawan jenis, sehingga dalam melaksanakan tugas pun bergantian. Panitia putri terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan oleh panitia dari santri putra yang akan mengangkat meja atau memindahakan barang-barang berat lainnya.

Inces, Raya dan Irma telah selesai dari tugasnya. Peluh menetes dari dagu ketiganya.

“Eh, alhamdulillah ya tanggung jawab kita selesai juga. Lancar jaya hehe.” Seperti biasa, Inces yang selalu membuka obrolan dengan basa-basinya.

“Iya alhamdulillah. Sekarang kita yang jadi panitia, dua mustawa (semester) lagi kita yang bakal diwisuda. Aamiin.” Irma menanggapi.

Raya yang sibuk menyeka peluh, diam saja melihat dua sahabatnya berceloteh. “Ke asrama yuk. Ngantuk aku. Seharian gak istirahat.” Raya bangkit, melap roknya yang berdebu bekas dudukan tadi kemudian berjalan melewati Inces dan Irma.

Melihat sahabat mereka yang pergi. Akhirnya mau tidak mau Inces dan Irma pun menyusul. Lagian juga tugas mereka sudah selesai. Untuk selanjutnya akan ditangani oleh santri putra.

***

Ketiganya berjalan sambil mengobrol. Dan tentunya Inces dan Irma lah yang paling aktif. Raya hanya sesekali merespon dengan kata iya atau terus.

“Eh tadi kalian lihat gak yang jadi Abu Bakar saat drama. Kayaknya ganteng gitu ya ‘kan?” Inces mulai lagi.

“Biasa aja. Aku sih yang pidato bahasa Arab. Uuh senyumnya itu lho.” Irma menanggapi.

“Eh tapi tentunya tetaplah ayang Jimin dong yang paling oke. Bener kan?”  Balas Inces tidak mau kalah.

“Astagfirullah hal azim. Ingat, zina mata,” nasehat Raya dengan datar.

Inces dan Irma kompak beristighfar. Memang keduanya jika disatukan akan fatal jadinya. Inces si tukang halu dan Irma pun begitu . Untung ada Raya yang masih lumayan waras di antara mereka, meskipun dia lebih sering memilih jarang bicara.

“Eh tadi kalian lihat Ustaz Adnan gak sih?” Irma tersadar. Memang di kalangaan santri putri, nama Ustaz Adnan lah yang paling sering mereka bicarakan. Anak tunggal Kiyai Luthfi itu memiliki paras yang tampan.

“Gak ada deh kayaknya.” Balas Inces.

“Ke mana ya calon suamiku itu?” Irma kembali dengan halunya.

“Ya mana aku tahu. Kali aja cari istri kedua. Bosen ama kamu tuh yang jarang mandi haha.” Inces terkekeh.

Candaan mereka terus berlanjut, hingga tidak terasa mereka sudah tiba di depan asrama mereka, sakan Fatimah (asrama Fatimah) namanya. Namun mendadak Irma tersadar sesuatu. Satu tangannya menyentuh leher.

“Kamu kenapa?” tanya Raya yang melihat gelagat Irma seperti mencari sesuatu.

Name tag aku.” Irma juga merogoh kantong almamater dongker yang ia kenakan. Namun dia tidak menemukan apa-apa di sana.

“Mungkin ketinggalan di qo’ah kali,” sahut Inces. “Besok aja baru kita cari di sana. Lagian name tag doang ‘kan?”

Irma yang memang asalnya panikan pun menepuk jidat. “Kayaknya emang ketinggalan di qo’ah deh. Seingatku terakhir aku simpen di laci meja.”

“Ya udah besok aja. Acara kan udah kelar, neme tag itu juga udah gak digunain lagi,” ucap Raya realistis.

“Masalahnya kartu santri aku juga di sana. Aku selipin di belakang name tag itu. Gimana dong?” Irma semakin panik. “Temenin aku bali ke qo’ah yuk,” rengeknya kemudian.

“Gawat. Tapi pasti di qo’ah sekarang udah banyak santri putra. Malu tau Irma kalau hanya kita doang santriwati yang ada di sana.”

Ketiganya masih berembuk di depan asrama. Bingung mau balik sekarang atau besok.

“Kalian masuk aja duluan. Aku balik sendiri gak apa-apa.” Irma memaksakan diri untuk kembali. Dia berlari menuju qo’ah. Sementara Inces dan Irma tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka masuk ke dalam asrama. Badan mereka sudah pegal semua.

Napas Irma ngos-ngosan saat tiba di depan qo’ah beberapa menit setelahnya. Benar, aula itu sudah dipenuhi oleh santri putra yang sedang merapikan meja-meja dan kursi-kursi di sana. Irma ragu. Dia masih mematung di sana melakukan perhitungan. Namun pilihan terakhirnya adalah pulang kembali ke asrama dan membiarkan name tag-nya di sana. Dia berharap ada yang menemukan dan memeberikan kepada pengurus asrama putri. Tapi lagi-lagi itu hanya harapannya. Di perjalanan kembali ke asrama tidak berhenti dia berdoa semoga harapannya itu terkabul.

***

Kira-kira siapa ya yang nemuin name tag Irma? Penasaran?

Gimana? Pengen lanjut gak?

Jangan lupa vote dan comment ya.🥳🥳

Setelah 500 komentar baru kita lanjut.

Spam "Next" buat yang penasaran kelanjutan ceritanya.

Sampai ketemu di part berikutnya.🤗

NIQAB UNTUK AYDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang