13

11.2K 1.4K 9
                                    

"Jika ada 1001 jalan menuju ke Roma, maka ada 1001 jalan menuju ke Deva."

- Fabian Alaric Kawindra -

🦋🦋🦋

Fabian POV

Tidak terasa sudah satu bulan aku menjalani rutinitasku sebagai CEO Kawindra Group dan selama itu pula wajah Deva terus menghiasi pikiranku. Setiap bangun tidur, mau makan, mandi, kerja, bahkan ketika aku akan menutup mataku setiap malam bayangan wajah Deva tidak mau pergi dari sisiku.

Aku memang sudah memiliki nomer teleponnya namun hingga saat ini aku masih menjalankan janjiku kepada Om Tom untuk tidak mengganggu Deva hingga unpaid leavenya selesai. Setidaknya aku tau jika Deva berdomisili di Jogja dan demi dirinya aku akan memindahkan kantorku kesana agar peluangku bertemu dengannya lebih besar jika tinggal satu kota. Demi melancarkan rencanaku, aku harus menyusun strategi agar ini terlihat rasional dan alasan kepindahanku ke jogja bisa diterima oleh para jajaran direksi serta management di Kawindra Group.

Dan akhirnya apa yang aku tunggu-tunggu bisa di realisasikan sebentar lagi. Ketika metting 3 hari lalu, jajaran direksi menyepakati untuk memperluas jaringan bisnis kami di Jateng-DIY maka dengan senang hati aku menawarkan diriku untuk memantau langsung segala urusan di pengembangan proyek bisnis tersebut. Untuk makin mendekatkan jalanku pada Deva, satu satunya cara adalah  menghubungi Salma. Salma memang cukup ramah, baik dan informatif, namun bila aku sudah menyinggung soal Deva, maka Salma akan bungkam seribu bahasa atau mengalihkan pembicaraan. Aku rasa mungkin jika aku bertemu dengan Salma, setidaknya ada sedikit informasi tentang Deva yang bisa aku dapat darinya. Dengan alasan itu, kini aku mengajaknya bertemu disalah satu cafe yang tepat ada di perempatan Tugu Jogja. Sebuah cafe yang memiliki pemandangan indah Tugu jogja apalagi jika sore dan malam hari.

"Hai, Bi, sudah lama nunggunya?" Aku melihat Salma menyapaku sambil mulai menarik kursi di hadapanku dan duduk dengan manis di sana.

Sebagai laki-laki normal memang Salma cantik, bahkan lebih cantik dan proporsional daripada Deva yang bertubuh mungil , namun entah bagaimana hatiku tetap memilih Deva. Deva adalah perempuan yang tidak memandang diriku dari apa yang aku miliki sejak awal bertemu. Bahkan perempuan pertama yang menuduhku macam-macam namun aku menikmati segala tuduhannya sebagai sebuah lelucon. Mungkin otakku sudah konslet karena Deva .

"Hai, belum sih, baru ngabisin 1 gelas minuman sambil buka kerjaan aja. Gimana kabarnya?" tanyaku sambil mulai menutup laptop Apple MacBook Pro-ku.

"Baik, Lo sendiri gimana?"

"Masih pusing cari informasi tentang Deva, habis lo pelit bagi info sih, Sal," kataku sambil tertawa.

Salma ikutan tertawa di depanku.

"Mending lo cari cewek lain aja deh, temen gue yang satu itu nggak minat kenalan apalagi deket-deket sama lo."

Aku tertawa mendengarnya, baru pertama kali ada perempuan menolakku. Padahal sejak aku memasuki cafe ini, tatapan para wanita hampir seluruhnya menatapku dengan penuh minat. Mungkin itulah alasan kenapa aku semakin tertarik kepada Deva, karena Deva tidak tertarik kepada diriku dan segala bentuk pesonaku. Anggaplah aku ini kepedean, namun aku tidak peduli karena sudah PD saja Deva masih antipati padaku, apalagi jika aku menjadi orang yang minder.

"Maunya gitu, tapi nggak tau kenapa yang gue kangenin Deva mulu."

"Lo kira gue bakalan percaya?" Salma tertawa sambil menyedekapkan tangannya didepan dada.

#DeFabian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang