BAGIAN 3

1 1 0
                                    

***

"Assalamualaikum mah".Ucap Laneta begitu memasuki rumahnya. Diruang keluarga, sudah terlihat kekek, nenek, tante, om, sepupu dan mamahnya.

Pantas saja ia disuruh pulang lebih awal. Ternyata ada keluarga besarnya yang sudah berkumpul.

"Laneta kesini".titah Layona-mamahnya.

Laneta mendekat "Iya mah?".

"Duduk".Ucap Layona menepuk sofa disampingnya.

Laneta menurut. Ia duduk disamping mamahnya dan berbaur dengan anggota keluarganya yang lain. Mereka terlihat hangat membicarakan sesuatu, entah apa yang mereka bicarakan.

"Monara sangat pintar, dia bahkan selalu mempertahankan peringkat pertamanya".Ucap Manesa-adik Layona-mamahnya. Wanita setengah paru baya itu terlihat sangat membanggakan Monara-anaknya.

"Wah benarkah? Bagus itu Nara, pertahankan sayang".Ucap Sonata-ibu dari mamahnya. Neneknya.

"Kalau Laneta kak bagaimana?".Ucap Manesa pada Layona.

Layona menoleh menatap putrinya.

"Dia masih berusaha aku sudah menyewakan guru les untuknya".Ada rasa tidak senang saat Layona mengatakan itu, dan Laneta merasakannya.

Memang kalau soal bidang mana pun Laneta akan terus kalah jauh dibandingkan dengan sepupunya-Monara. Monara sangat pintar, sementara ia hanya pintar. Monara selalu didambakan dikeluarga besarnya, Monara selalu mendapatkan pujian atas kemenangannya. Berbeda dengannya yang selalu dituntut oleh ibunya menjadi yang sangat baik. Ia sudah melakukan yang terbaik tapi semuanya seakan tak ternilai dimata ibunya.

Ibunya seakan haus pujian dari keluarganya maupun teman-teman sosialitasnya. Jika anak teman-temannya berada diatas Laneta maka ia akan dituntut untuk belajar dan belajar.

Sebenarnya ia pintar tapi jika harus dibandingkan dengan Monara maka kepintarannya bukanlah apa-apa. Sepupunya jauh darinya. Ia kalah jauh dari segi mana pun.

"Harusnya Neta harus giat belajar dong. Lihat Nara, dia selalu mendapatkan nilai yang sangat tinggi. Masa kamu harus kalah lagi dari sepupumu".Ujar Sonata membuat Laneta meremas jarinya gugup.

Situasi seperti ini yang sangat ia benci. Selalu disudutkan oleh keluarganya dan selalu dituntut agar bisa setara dengan Monara.

"Maaf Nek".Hanya itu yang berani keluar dari bibirnya. Mulutnya seakan kelu tak berani mengeluarkan pembelaan. Bahkan kalau ia membela diri pun mereka akan terus menjadi-jadi.

"Ma, Laneta udah bagus kok nilainya. Buktinya ia bisa kok dapat 85".Trusatria-kakeknya. Pria berumur 60-an itu mengeluarkan pembelaan untuknya.

Hanya kakeknya yang mengerti situasinya.

"Pa, nilai 85 itu bukan apa-apa.. Lihat Nara dia bahkan berhasil mendapatkan nilai 97".Ucap Sonata meraih kertas putih diatas meja.

"Pokoknya nenek gak mau tau, kamu..Neta harus bisa sebanding dengan Nara. Apa lagi yang harus nenek banggakan dari kamu?".Ucap Sonata menatap Laneta tegas.

Laneta hanya mengangguk saja.

***

"APA INI LANETA?".Layona mengangkat tinggi-tinggi kertas ujian milik Laneta.

"M-maafin aku mah".Cicit Laneta.

"MINTA MAAF PUN GAK CUKUP LANETA!".BENTAK Layona.

"Aku harus gimana mah?, lagian nilaiku cukup bagus kok".Ucap Laneta berusaha membela diri.

"BAGUS KAMU BILANG? BAGUS? NILAI 85 ITU BAGUS? KAMU TAU NILAI SEPERTI ITU BUKAN APA-APA DIBANDING DENGAN NILAI MONARA 97!".Pekik Layona keras. Membuat Laneta memejamkan mata tak ingin melihat kemarahan ibunya.

"Mamah gak bisa dong samain aku dengan Monara. Itu mustahil mah.. Dia itu terlalu pintar dari aku mah. Aku gak bisa".Ucap Laneta dengan mata berkaca-kaca.

"BUAT APA MAMAH SEWAIN GURU LES BUAT KAMU, KALAU KAMU GAK BISA JADI APA YANG MAMAH MAU!".Bentak Layona kesekian kalinya.

"Mau sebanyak apa pun mamah sewain guru les, kalau otak aku gak bisa pun tetap gak bisa mah!".Balas Laneta prustasi. Harus berapa kali ia mengeluarkan suara supaya ibunya memahaminya. Ia butuh semangat bukan dituntut seperti ini.

"MAMAH GAK MAU TAU, NILAI KAMU HARUS BISA SEBANDING DENGAN MONARA!".Ucap wanita itu setelah menghancurkan kertas ujian milik Laneta. Layona lalu melangkah pergi meninggalkan Laneta sendiri.

Laneta merosotkan tubuhnya diatas lantai, menatap nanar kertas ujiannya yang sudah hancur diatas lantai. Bahkan ia sudah berusaha sangat keras memeras otaknya, tapi dengan sekejap mata perjuangannya sudah dihancurkan oleh ibunya.

Mau seperti orang gila ia belajar pun tetap saja nilai dibawah 90 tetap dianggap tak bernilai oleh keluarganya.

"Aku harus apa mah?".

"Bahkan untuk mendapatkan nilai standar pun aku udah berusaha sangat keras".

"Aku minta maaf karna gak bisa jadi apa yang mamah mau".Ucapnya pelan.

Laneta mengusap matanya yang berkaca-kaca lalu memungut kertas itu diatas lantai satu persatu.

"Gua harus bisa, gua harus bisa mendapatkan nilai bagus".Tekadnya meyakinkan diri. Ia harus terus belajar, bahkan tidak tidur pun tidak masalah baginya.

Ia tak ingin kejadian seperti ini akan terulang kembali, bahkan lebih dari ini. Ia tidak ingin, ia tidak ingin mengundang kemarahan ibunya. Tubuhnya akan menjadi korban jika sampai itu terjadi.

Bisa saja ia akan dipukul, ditendang atau bahkan bisa dibunuh.

Laneta menggeleng "Gak boleh, gua akan belajar".

ELNETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang