Yuna berjalan disepanjang trotoar sambil mengusap lengannya, cuaca malam ini teras sangat dingin apa lagi tubuhnya hanya berlapis pakaian tipis saja. Meruntuki dirinya sendiri yang lupa membawa jaket tebal untuk berjaga-jaga seperti sekarang ini.
Yuna terus melangkah melewati rumah setiap rumah yang sudah sunyi, karena memang di jam 10 malam orang-orang sudah tertidur. Walaupun hawanya terasa mencekam Yuna mencoba bertahan hingga sampai ke rumahnya.
Tapi langkahnya mendadak berhenti kala melihat dua orang berpakaian seperti preman mulai mendatanginya dan mendekat kearahnya. Yuna yang tak kuasa menahan rasa takutnya hanya bisa meremas ranselnya yang saat ini ia peluk.
Untuk kedua kalinya ia meruntuki dirinya yang begitu bodoh menolak tawaran Rika yang ingin mengantarnya pulang hanya karena rumahnya tidak satu arah.
"Malam neng".Ucapan salah satu preman itu membuat bulu kuduk Yuna berdiri. Matanya tentu saja sangat jelas menggambarkan raut takut.
Yuna memundurkan langkahnya, menjauhkan jangkauan preman itu yang hendak mendekat.
"J-jangan m-mendekat".
Preman itu tersenyum miring.
"Kenapa mundur? Ayolah, gabung sama kita".Ucapan preman itu tentu saja membuat hatinya semakin tidak nyaman. Ada rasa ingin berteriak meminta tolong, namun ia kembali mengingat jika ini adalah jalan yang sangat jarang dilewati orang-orang.
"Biarin saya lewat".Sekuat tenaga Yuna melontarkan ucapan itu.
"Bentar dulu dong sayang, temani kita bersenang-senang dulu".Ujar preman itu kembali mendekati Yuna.
Yuna menggeleng, menepis tangan nakal preman itu yang hendak menyentuh tubuhnya sembarangan. Rasanya ingin menangis saat ada orang yang memperlakukannya serendah ini, berharap ada seseorang yang datang dan membebaskannya disituasi sulit seperti sekarang ini.
"Tolong aku tuhan".
Fikirannya kembali menyadarkannya pada kenyataan, kenyataan jika ia tidak boleh mengandalkan orang namun harus mengandalkan diri sendiri. Jika disituasi tersulit seperti ini sangatlah sulit hanya bermodal berdoa saja, yang ia harus ia lakukan adalah lari..
Lari..
Itulah kalimat yang tepat.
Detik berikutnya Yuna berbalik dan berlari sekuat tenaganya berusaha menghindari dirinya dari jangkauan kedua preman yang saat ini ikut mengejarnya.
Tak peduli beberapa goresan yang ia dapat saat melewati gang yang sangat sempit, yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya saat ini.
Saat keluar dari gang sempit itu, Yuna menangada menatap sekeliling mencari orang-orang disekitarnya.
Tiba-tiba dari jarak jauh ia bisa melihat lampu yang menyinarinya cukup terang.
Masa bodo dengan nyawanya yang menjadi taruhan, gadis itu dengan nekat melangkah ditengah aspal sambil merentangkan kedua tangannya, berharap pengendara mobil itu berhenti dan membantunya.
Tin!..
Yuna masih kekeh ditempatnya, seakan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas saat ini.
Citt!.
"Lo mau mati?!".Teriakan cukup nyaring itu berhasil membuat Yuna tersentak. Gadis itu dengan nafas terengah-engah berjalan mendekati orang itu.
"T-tolong t-tolong saya".Ucap Yuna terbata-terbata sambil menunduk tanpa menatap orang itu.
"Lo?".Ujar Elga terkejut begitu mendapati Yuna dengan keadaan kacau.
Yuna merasa mengenali suara itu mengangkat kepalanya menatap Elga tak kalah terkejut.
"Elga?".
"Minggir".Ucap Elga dingin.
"T-tolongin aku El".Pinta Yuna yang hampir putus asa.
"Engg-".
"WOI JANGAN LARI LU!".Suara yang berasal dari belakang gadis itu pun membuat Elga berdecak dan membuka pintu disampingnya.
"Masuk".Titahnya menyuruh gadis itu masuk.
Yuna tersenyum lega dan mengangguk, memasuki mobil hitam milik cowok itu diiringi helaan nafas panjang.
Kursi yang saat ini ia duduki adalah kursi yang selalu Neta duduki, dan ini baru pertama kali untuknya.
"M-makasi".
Elga mengabaikan ucapan gadis itu, lebih memilih memfokuskan diri membelah jalan yang cukup ramai.
Yuna menatap cowok itu tanpa berkedip lalu tersenyum kecut. Jika saja ia bukan Yuna dan ia adalah Neta mungkin saja cowok itu tidak akan mengabaikannya seperti ini.
Cowok itu pasti akan meresponnya dengan baik.
Tapi ia bukan Neta, tapi ia adalah Yuna.
Sesekali Yuna menoleh mencuri-curi pandang menatap wajah datar cowok itu yang sedang fokus menyetir. Bahkan dengan wajah tanpa ekspresi pun bisa membuat pipinya tiba-tiba memanas, lantas bagaimana dengan Neta yang setiap saat selalu diberikan senyuman indah.
Ia pernah melihat cowok itu tersenyum, wajah cowok itu semakin tampan jika tersenyum. Namun kenyataan tiba-tiba saja menamparnya dan kembali menempatkannya pada posisinya sebenarnya, sebenarnya senyuman itu bukan untuknya melainkan untuk seorang gadis cantik yang jauh lebih sempurna darinya.
Yuna menghela nafas berat, posisi hidup yang diberikan pada Neta sungguh menguntungkan, gadis itu bisa mendapatkan apa yang dia mau, melakukan apa yang dimaunya, semua keinginan Laneta pasti akan selalu terwujud saat itu juga. Terlalu mudah untuk Neta, termasuk berpacaran dengan seorang Elgale.
Munafikkah jika ia mengatatakan tidak iri dengan kehidupan Laneta? Kalo iya maka ia tidak munafik, ia mengakui jika ia iri dengan kehidupan sempurna gadis itu.
Kaya,cerdas,kasih sayang,cinta,dan kekuasaan materi. Laneta mendapatkannya secara bersamaan.
"Pergi".Kalimat berat Elga berhasil membuyarkan lamunan Yuna.
Gadis itu membukan pintu mobil dan keluar.
Yuna berbalik hendak mengucapkan terima kasih, namun mobil hitam itu sudah melaju meninggalkannya yang hanya menatap sendu.
Gadis itu tersenyum kecut bahkan sifat Elga yang tak acuh belum berhasil membuatnya berhenti mencintai cowok itu.
Bahkan rasa yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, dan semakin membuatnya lupa diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELNETA
Teen Fiction"Apa yang akan mamah lakuin kalau aku rusakin berkas mamah?". "Tentu saja mamah akan marah". "Tapi mamah selalu rusakin kertas ujian aku". - "Mana yang sakit Ta, bilang sama aku". "Semuanya sakit". - "Andai kamu tau El, gimana sakitnya aku ketika li...