Dia membutuhkan seorang Ibu, bukan pacar.

27 3 0
                                    

Setelah pergi dari rumahnya Larisa, aku menuju arah pulang dengan perasaan sangat kehilangan semangat. Aku membawa motorku sangat pelan hingga aku beberapa kali di tegur oleh pengguna jalan lainnya. Ketika sudah dekat, aku mampir di sebuah minimarket untuk membeli sebuah minuman berenergi, pikirku itu akan membuatku sedikit bertenaga untuk melanjutkan perjalanan.

Namun setelah meminumnya, tidak ada yang berubah. Aku teringat tentang Zahra yang seharusnya sudah sampai di rumah, aku lalu menelponnya.

"Halo?"

"Lu udah di rumah?"

"Udah. Kenapa?"

"Gua boleh minta tolong ga?"

"Apa? Jangan yang berhubungan sama duit ya.."

"Engga. Gua minta tolong buat ngurus seseorang.."

"Hah?! Siapa?"

"Andini. Dia lagi kabur dari rumah gitu, ibunya ternyata sering menyiksa dia semacam itu. Jadinya buat sementara, ya dia nginep di rumah lu.."

"Aduh, bukannya gua gamau.."

"Tapi?"

"Tapi lagi ada saudara gua yang nginep di sini, ya ini aja gua harus berebutan dulu sama sepupu gua.."

"Oh, begitu ya.."

"Bentar, berarti dari kemaren dia nginep di rumah lu?"

"Engga lah, gila aja lu. Dia nginep di hotel.."

"Banyak duit ya lu.."

"Hotel murah."

"Yah, gua gamau sok ngatur. Tapi itu kan bukan urusan lu sebenarnya.."

"Tapi, ya, gua kasihan.."

"Ya kan dia yang kabur, walaupun emang alasannya bener, tapi bukan berarti harus lu yang menampung.."

"Terus lu nyaranin apa? Usir dia gitu?"

"Ya ngusir secara halus, atau ya udah harusnya dia ngadepin masalahnya sendiri."

"Oke, deh.."


Aku menutup panggilannya dengan rasa kecewa. Aku kira dia akan merespon kasihan atau setidaknya sepemikiran denganku, tetapi mungkin ekspektasi ku yang terlalu tinggi. Aku mengerti kenapa dia bisa memiliki pemikiran seperti itu, mungkin orang lain yang kukenal juga sepemikiran.

Tetapi aku tahu seperti apa rasanya kesulitan, tidak memiliki seseorang yang dapat membantu ketika dalam keadaan sulit. Perasaan seperti, aku tidak ingin semua orang tidak peduli ketika aku membutuhkan pertolongan mereka. Memang aku terlalu membawa perasaanku sendiri dengan hal ini.

Aku kembali melanjutkan perjalanan kembali ke kosanku. Setelah memarkirkan motor, aku langsung memasuki kamarku, tak di sangka ada Andini yang menunggu di sana sedang tertidur. Aku lalu membangunkannya.

"Hmm?" Sahutnya yang masih setengah sadar itu.

"Kamu udah makan?"

"Ah, Rian. Be-belom sih.."

"Dasar, kan aku udah bilang tadi.."

Andini lalu bangun dan membasuh wajahnya agar segar kembali. Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, sedangkan dia bilang belum makan. Memangnya dia engga lapar gitu?

"Bagaimana tadi? Apa kalian berhasil berbaikan?" Tanyanya.

"Hmm. Engga sama sekali, sepertinya dia terus mengulur waktu." Sahutku.

"Eh? Maksudnya?"

"Yah, digantung begini. Dibilang putus juga tidak, tapi dibilang masih berhubungan juga engga.."

Dibalik Dunia NalarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang