Konsekuensinya

19 1 0
                                    

Waktu liburan sudah hampir berakhir, Minggu depan aku sudah harus masuk kuliah lagi di semester baru. Karena itu, aku menyempatkan untuk jalan-jalan dengan Putra dan Zahra. Walaupun sekedar jadi nyamuk, tetapi aku menikmati kunjungan ke museum kali ini. Yah, lebih baik daripada hanya berdiam diri di kamar rumah sakit.

Kami datang sejak pagi dan hingga kini waktu menunjukkan pukul 3 sore, setelah itu kami berpisah, Putra mengantarkan Zahra, dan aku melanjutkan ke acara yang berikutnya: menjenguk Andini.


Setelah perjalanan yang cukup lancar, aku sampai di sebuah rumah yang terlihat seperti sebuah tempat penampungan orang tua. Karena sedari tadi, aku melihat ada orang tua yang berlalu-lalang, mungkin aja ini adalah penyamarannya.

Terlihat Lia sudah menungguku di bibir pintu, sepertinya dia terlihat sedang senang. Ia lalu mempersilahkanku untuk masuk dan duduk menunggu di sofa, tak lama ada seorang wanita tua yang memberikanku teh dan makanan ringan. Tak lama setelah menyeruput tehnya, Lia duduk bersamaku.

"Gimana? Enak?" Tanya Lia.

"Enak. Ini juga enak" sahutku sembari menunjuk kue yang ada di tanganku.

"Itu buatan bibi, dia emang jago bikin kue."

"Ngomong-ngomong, ini tempat apa?"

"Sudah jelas, bukan? Ini adalah markas kami.."

"Aku tahu, tapi engga mungkin di atas kertas ini disebut "markas" kan?"

"Yah, sebut aja ini sebagai markas sembako.."

"Markas sembako? Aku kira ini semacam panti.."

"Engga. Kami cuma bagi-bagi sembako di sini buat kampung ini dan yang membutuhkan. Memang banyak orang tua yang datang ke sini.."

"Sebagai penyamaran?"

"Iya, tapi kami juga serius mengurusnya. Bisa dibilang sebagai "pajak" kami karena tinggal di masa ini.."

"Begitu rupanya. Jadi bagaimana kabarnya?" Ujarku mengganti topik.

Lia lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih serius.
"Andini sempat tidak stabil, dia bahkan hampir tidak bisa mengendalikan kuasa nya"

"Karena emosinya ya?"

"Jadi kamu sudah tahu?"

"Yah, sedikit.."

"Tapi setelah kami membawakan barang-barangnya, dia agak lebih tenang. Bahkan dia meminta untuk bertemu denganmu.."

"Barang-barang apa?"

"Banyak sih, tapi yang selalu ada di tangannya sekarang adalah Boneka Hiu berwarna Ungu. Pasti ada hubungannya denganmu kan?"

"Iya.."


Tentu saja, boneka Hiu berwarna Ungu itu adalah hadiah yang kami dapatkan bersama saat bermain di mall. Pastinya boneka itu sangat berarti bagi Andini yang sampai saat ini masih memiliki rasa kepadaku.

"Bicara soal kuasa, aku ingin tanya sesuatu padamu.." tanyaku serius.

"Tanya apa?"

"Tentang Nawang Wulan"

"Ah.."

"Kamu tahu dia kan? Di mana dia? Kenapa dia muncul dihadapanku dan sekarang tiba-tiba hilang? Siapa sebenarnya Nawang Wulan itu?" Tanyaku dengan antusias.

"Sudah aku bilang bukan? Semuanya pasti akan terjawab pada waktunya"

"Jawaban itu lagi..., kamu sebenarnya tidak mau atau tidak bisa menjawabnya?"

"Iya, aku diinstruksikan secara khusus untuk tidak berbicara apapun soal ini"

"Oleh siapa?"

"Orang di atas organisasi kami."

Dibalik Dunia NalarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang