Seperti bulan yang indah pada malam ini.

26 2 0
                                    


Sembari melihat Rian yang masih tertidur di periksa oleh Sri Ningsih yang berkedok sebagai suster, aku teringat ketika pertama kali melihatnya di dunia mimpi itu. Aku ingat sekali wajahnya yang terkejut itu sebelum ia hilang dari pandanganku. Ekspresinya seakan-akan mengatakan 'kenapa kamu ada di sini?', seperti tidak menginginkan aku ada di sana.


Sebenarnya apa yang terjadi?




"Apa kita berhasil?" Tanyaku.

"Hmm, ya dan tidak.." sahut Sri Ningsih dalam tubuh suster.

"Maksudnya bagaimana?"

"Kita berhasil membuat Rian bangun dari dunia mimpi yang dia ciptakan, tapi sepertinya kita terlalu meremehkan hal lainnya"

"Aku masih engga paham.."

"Rian bukan hanya membuat dunia mimpi. Tetapi dia membuat dunia mimpi itu di dalam dimensi Saku miliknya."

"Dimensi Saku?"

"Dimensi yang dibuat olehnya, bisa dibilang juga dimensi isolasi yang mengisolasi dirinya sendiri.."

"Ah, jadi.., apa masalahnya?" Sahutku pura-pura mengerti.

"Tidak ada yang bisa masuk ke dalam dimensi Saku miliknya, karena kunci untuk membukanya adalah Rian sendiri, tidak ada yang bisa keluar masuk selain Rian menghendakinya.."

"Oh, berarti, seperti Rian masuk ke dalam sebuah ruangan, tetapi dia mengunci pintunya dari dalam. Seperti itu maksudnya?"

"Benar sekali. Bahkan sekarang kita tidak bisa menemui Rian, lalu bagaimana caranya kita untuk meyakinkan dirinya agar mau bangun?"

"Sebentar, kenapa kalau sebelumnya aku bisa masuk, sekarang malah tidak bisa?"

"Karena dalam dimensi mimpinya, dia bisa di dipengaruhi oleh gangguan dari luar, selayaknya mimpi yang kamu rasakan. Semisalnya ketika kamu tidur, tubuhmu terkena air, maka dalam mimpimu bisa saja kamu bermimpi basah kuyup atau sebagainya. Tapi karena sekarang dia sudah menghilangkan dimensi mimpinya, yang tersisa hanyalah dimensi isolasinya."

"O-oke..., lalu sekarang kita bisa melakukan apa?"

"Saat ini aku juga belum tahu, tapi aku harap kamu bisa mencari cara, karena jika Rian dibiarkan terus begini, maka..."

"Aku mengerti." Ujarku memotong perkataannya.





Rasanya aku tidak mau mendengar kata-kata berikutnya. Aku tahu taruhannya, tentunya aku tidak mau hal itu sampai terjadi. Karena itu aku tidak akan berandai-andai jika aku gagal, pokoknya apapun yang terjadi, aku harus berhasil.

Sulit bagiku untuk menemukan solusi untuk masalah ini, karena setiap solusi yang muncul di kepalaku, selalu dipatahkan oleh fakta hanya Rian yang bisa keluar dan masuk. Bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan orang yang mengurung dirinya sendiri? Mungkin terlihat sangat mudah untuk di jawab, seperti membujuknya dari luar, atau menghubunginya lewat sesuatu yang ada di dalam. Masalahnya, satu-satunya cara untuk berkomunikasi adalah dengan masuk ke dalam pikirannya, namun sekarang menjadi mustahil karena Rian tidak membiarkannya.

Lagipula, mengapa Rian bersikeras untuk berada di dalam? Apa dia masih sakit hati kepadaku? Apa karena dia sudah tahu tentang Jaka A.R.C? Mungkin ada benarnya juga, waktu itu aku hanya menjelaskannya kepada Rian palsu.








Aku sempat berkeliling mengitari koridor rumah sakit untuk menemukan solusi, namun entah kenapa aku malah merasa semakin jauh dari jawaban yang aku cari, oleh karena itu aku berjalan kembali ke ruangan Rian, namun ketika sudah mau dekat, terlihat Helianti yang sedang mengintip ke dalam. Aku lalu menghampirinya dan melihat apa yang ia lihat, ternyata di dalam ruang itu terdapat Ibunya Rian yang sedang memegang tangan anaknya. Pikirku dalam hati, pasti beliau sangat sedih melihat satu-satunya keluarga yang ia punya sedang terbaring di rumah sakit.

Dibalik Dunia NalarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang