Kelinci yang terperangkap.

29 3 0
                                    



Setelah tanpa sengaja bertemu, aku dan Gabriel beristirahat di sebuah minimarket dekat lampu merah. Kami merebahkan tubuh di kursi sembari meneguk air kemasan yang segar. Walaupun tidak jadi ribut, entah kenapa ekspresi Gabriel seperti tidak nyaman.

"Ngomong-ngomong, lu ngapain ke Bekasi?" Tanyaku.

"Ah, engga. Lu sendiri?" Tanya dia balik.

"Ya, Larisa. Apa lagi emangnya.."

"Oh iya.."

"Lu belom jawab gua.."

"Eh? Eng-engga. Cuma ke rumah saudara aja.."

"Sejak kapan rumah saudara lu di Bekasi?"

"Yah, kan dia baru pindah.."




Setelah itu, aku dengan sengaja mengubah topik pembicaraan menjadi obrolan tentang tugas kuliah dan sebagainya. Raut wajahnya berubah, dia terlihat menjadi lebih mendingan daripada tadi.

Sehabis cukup lama mengobrol, kami berpisah di jalan. Saat sudah dekat dari kosan, aku baru teringat bahwa aku ingin menanyakan kenalan Indigo Gabriel, tetapi aku lupa. Aku pikir, bisa besok saja saat di kampus.

Aku langsung pulang menuju kosan, dan langsung tidur karena lelah dan pusing akibat memakan daging kambing yang banyak. Bukannya masakan Ibunya Larisa tidak sedap, tetapi aku rasa aku terlalu memakan banyak dagingnya.
















Tiba-tiba, aku terbangun di tengah malam. Rasa perutku yang melilit dan jamban memanggil diriku untuk menghampirinya. Secara seketika rasa kantukku hilang, karena itu aku bergegas menuju toilet. Untungnya kosanku memiliki toilet pribadi di dalam kamar. Privasi dan wewangian ampasku terjaga secara aman.

Setelah sudah keluar semua dengan estetiknya, aku membilasnya dan membersihkan diri. Lalu aku keluar dari kamar mandi.

"Udah lega?"

Suara wanita halus itu mengejutkanku, jantungku langsung berdetak kencang.
"Bisa ga sih, kalau mau dateng kasih tau dulu?" Keluhku.

"Ya mau gimana.., kamu kan gabisa liat aku.." sahutnya.

"Hm. Ada apa lagi datang?"

"Ga boleh ya?"

"Engga. Ganggu kehidupan orang lain aja gih!"

"Kalau bisa juga udah aku lakukan sejak lama.."

"Eh? Maksudnya?"

"Ya, sejauh ini. Cuma kamu doang yang bisa denger aku.."

Aku lalu berbaring di kasurku sembari kedua tanganku menjadi bantal kepala, selayaknya posisi santai di atas kasur.

"Sedih amat jadi setan.."

"Ih! Aku bukan setan!"

"Terus apa?"

"Ya, bukan setan!"

"Kalau bukan setan, terus gua panggil lu apa? Wanita halus?"

"Ih, kamu menyebalkan ya. Aku punya nama.."

"Oh.., siapa?"

"Na-nawang Wulan"

"Sulit juga ya.."

"Panggil aja..., Wulan."



Nawang Wulan? Entah kenapa nama itu tidak asing di telingaku. Seperti nama dalam cerita rakyat, kalau tidak salah. Apa itu benar nama aslinya? Atau dia hanya mengklaim nama itu? Aku sama sekali tidak tahu. Karena setelah menyebutkan namanya itu, dia tidak terdengar lagi. Benar-benar seorang setan enigma, mungkin lebih seperti jalangkung, datang tidak diundang dan pergi tak pamit.












Dibalik Dunia NalarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang