Menggoyahkan seseorang itu mudah.

25 3 0
                                    


Wanita itu berjalan perlahan ke arahku, lalu berhenti sampai jarak kami sekitar satu meter. Cukup dekat untuk melihat dengan jelas, di antara wajahnya yang cantik itu, terdapat mata agak merah dan bekas tangisan di kelopak matanya. Wajahnya yang terlihat seperti sedih namun juga terlihat seperti marah, membuatku bingung harus bagaimana.

"A-ada apa?" Tanyaku.

"Apa sekarang kamu membenciku?" Sahutnya.

"Apa.., maksudnya?"

"Aku tidak ingin kamu membenciku.."

"Ta-tapi, kenapa kamu sekarang seperti ini? Sakit tau rasanya..."

"Aku juga engga mau hal ini terjadi.."

"Lalu kenapa?" Nadaku agak naik.

"Aku tidak ingin seperti ini.." ujarnya rintih.


Aku melihatnya yang seperti menahan tangis, tidak tahu harus melakukan apa, atau berkata apa.

"Aku... kangen kamu.., aku engga mau jauh-jauh dari Rian..." Lanjutnya semakin rintih.


Lalu ia menyandarkan kepalanya di dadaku dan langsung menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan suara yang terlalu keras, seperti bahkan sudah mengeluarkan semua tangisannya, tetapi masih belum lega juga. Aku tidak tahu harus berbuat apa, biasanya aku memeluknya atau menenangkannya, tetapi aku seakan-akan tidak bisa bergerak. Seperti hatiku menolak untuk melakukannya. Setelah cukup lama, akhirnya tangisannya mereda, namun kepalanya masih menempel di dadaku.

"Rian, maukah kamu memberi aku waktu lagi?"

"Sampai berapa lama lagi? Aku tidak akan pernah bisa hidup selamanya digantung olehmu.." ujarku agak geram.

"Kalau begitu, beri aku waktu seminggu, setelah itu kita berbicara tentang alasanku. Juga... kejelasan hubungan kita yang kamu tanyakan.." Ujarnya sembari mengangkat kepalanya dan melihat ke mataku.

Meskipun sempat ragu, aku menghela napas dan menjawabnya, "Baik. Kalau itu yang kamu mau."










Setelah itu, Larisa dan Kakaknya kembali ke mobilnya dan meninggalkanku. Sampai jauh-jauh datang untuk berbicara seperti itu saja, bahkan sampai mengajak Kakaknya. Siapa diriku sampai sebegitu pentingnya? Bahkan aku yakin, jika diberi waktu sedikit untuk melupakanku, Larisa sudah pasti akan menemukan laki-laki yang lebih unggul daripada diriku. Aku bukanlah laki-laki yang pantas untuk diperlakukan spesial seperti itu, atau setidaknya itulah yang aku pikir.

Tak lama ketika mobil Kakaknya Larisa pergi, Andini keluar dari toko tersebut dengan membawa sekotak kue. Tidak ada percakapan apapun, entah Andini melihatnya tapi memilih diam saja atau memang ia tidak melihatnya sama sekali. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju rumah pamannya, letaknya berada di perumahan sekitar perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Saat kami sampai, bibinya langsung memeluk Andini begitu eratnya seakan ia tahu apa telah terjadi.

Andini dan bibinya masuk ke kamar, untuk bercerita sepertinya. Sedangkan aku di ruang tamu bersama Pamannya Andini yang sedang menelpon seseorang itu. Aku merasa canggung, rasanya seperti aku seperti sedang menghadap Pamannya sebagai pacarnya saja.

"Jadi, kamu pacarnya Andini?" Ujar Pamannya sembari menaruh ponselnya.

Tuh kan!

"Ah, engga, om. Saya teman kampusnya Andini.." sahutku.

"Oh begitu. Maaf ya, kamu harus ikutan di masalah keluarga kami.."

"Engga apa-apa, Om. Tapi, kalau boleh tahu, kenapa Ibunya Andini bisa jadi seperti itu?"

"Yah. Andini adalah anak di luar nikah dari Ibunya, Ayu dan pacarnya dulu. Tapi bukannya tanggung jawab, pacarnya malah kabur dan kabarnya kabur bersama pasangan barunya.."

Dibalik Dunia NalarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang