5 tahun yang lalu, sekitar beberapa bulan sejak kami menguburkan Ayah, kami selalu kembali secara rutin beberapa kali untuk mengunjungi makamnya. Kami biasa datang untuk membersihkan makam dan berdoa, tempat ayahku dimakamkan adalah sebuah Tempat Pemakaman yang lahannya gratis, artinya tidak ada perawatan rutin yang dilakukan oleh petugasnya. Kami membersihkan makamnya dari daun kering yang berserakan dan terkadang tumbuhan liar. Namun, ada yang tidak berubah, yaitu tangisan ibuku yang terus mengiringi kami. Andai saja mendiang ayahku tahu jika Ibu akan terus menangis seperti ini, apakah ia akan benar-benar tetap pergi?
Entah kenapa, ketika momen seperti ini, aku dan ibuku benar-benar tidak berbicara sama sekali, kecuali memang perlu. Ibuku tidak mengatakan apapun, dan aku juga sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Perjalanan panjang antara pulang dan pergi hanya diiringi suara jalanan yang terdengar dari dalam kabin taksi.
Sampai di rumah, langit sudah berubah menjadi gelap. Ibuku langsung kembali ke kamarnya dan beristirahat. Aku tahu di balik pintu kamarnya, ia sering menangis dan terdiam diri, namun aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghiburnya.
Aku pun kembali ke kamarku dan merebahkan tubuh sembari memanjangkan tanganku, meraih cahaya lampu seakan-akan memberiku kekuatan, namun faktanya aku hanya terlalu banyak berimajinasi.
"Engga main?" Tanya Ningsih dari belakangku.
Aku berdiam sejenak, lalu menjawabnya sembari memejamkan mata, "Lagi engga pengen.."
Ya, biasanya aku selalu bermain game konsol, entah mengapa rasanya aku ingin terus bermain, walaupun tidak membuatku merasa senang sama sekali.
"Kamu, seperti biasanya selalu diam ya ketika berkunjung ke sana.."
"Mau ngomong apa juga, aku ga tau.."
Ningsih lalu menghampiriku dan duduk di sebelahku, ia membelai rambutku dengan halusnya. Belaiannya itu memang candu, memberiku ketenangan, seperti yang ibuku dulu sering lakukan ketika aku masih kecil.
"Ningsih..." Panggilku lirih.
"Iya?"
"Apa aku salah jika merasa sedih?"
"Sedih kenapa?"
"Entahlah, tapi setiap lihat Ibu begitu, aku ngerasa sedih..."
"Kamu anak yang baik artinya. Engga ada yang salah kalau kamu sedih ketika ibu kamu sedih. Justru kalau kamu engga sedih, justru ada yang salah.."
"Ningsih, kenapa Ayahku harus pergi? Apakah Ayahku bisa kembali lagi kalau tahu yang terjadi pada kami sekarang?"
Dengan senyuman tipisnya, ia terdiam sembari terus membelai rambutku. Walaupun melihatnya dalam keadaan terbalik, tetapi aku bisa melihat matanya terus menatap tepat ke mataku.
"Ke-kenapa?" Tanyaku malu.
"Itu adalah bagian dari takdir, Rian. Orang akan datang dan pergi, seberapapun kamu menyayangi seseorang, jika memang waktunya untuk pergi, maka tidak ada yang bisa menghentikannya. Tapi.."
"Tapi?"
"Tapi jangan cuma kamu lihat sisi buruknya saja. Pasti kamu akan sedih dan menangis, tetapi itu adalah hal yang wajar, sebagai bukti bahwa kamu memiliki hati. Kepergian orang yang baik akan digantikan oleh orang yang baik juga. Yang pupus akan tumbuh kembali menjadi hal yang baru."
"Anggap saja, semua kesedihan dan tangisan ini, adalah sebuah latihan untuk membuat kamu menjadi lebih kuat. Oleh karena itu, gapapa menangis, aku ada di sini kok.." lanjutnya sembari memegang pipiku.
Secara perlahan, aku terlena dalam kata-katanya, sembari membayangkan ayahku, aku tenggelam dalam air mata. Dadaku yang awalnya merasa sangat sesak hari ini, mulai menjadi luang sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Dunia Nalar
ParanormalRian Chandra, seorang Mahasiswa yang sedang dalam masa kasmarannya, tiba-tiba terganggu dengan banyaknya kejadian aneh yang terjadi dan secara tidak sengaja berhubungan langsung dengan dirinya. Karena kejadian aneh itu mengganggu kehidupannya, ia ti...