>•<
Bagai mencari sebutir tanah di dalam jutaan pasir. Seperti itulah sulitnya membagi masalah kepada orang lain, bisa memang bisa tapi sangat sulit.
Kini di sebuah kamar dengan pencahayaan yang remang-remang seorang pria terduduk, terduduk gelisah di depan meja belajarnya.
Bagaikan peperangan, dua pernyataan saling bertentangan di dalam kepala kecilnya, apakah ia harus menelfon?? atau tidak. Di depannya sudah ada ponsel yang menampilkan nama kontak 'mama' apakah ia harus bercerita masalah ini kepada wanita yang melahirkan nya itu?
Lihat kan, mau menelfon orang saja memerlukan otak, sepele sebenernya tapi Raefal membuat nya menjadi satu masalah lagi yang menjadi beban pikiran, benar, Raefal itu pasti tidak sadar telah membuat gigitan kecil semut menjadi gigitan binatang buas yang besar.
Raefal, pria itu bimbang ia ingin menelfon dan membagi masalah ini tapi takut akan menambah beban pikiran mamanya, tapi jika memendam nya sendiri? Mungkin kewarasannya tidak akan bertahan sampai esok hari, dia pasti akan gila duluan memendam semua hal yang tidak masuk akal ini semalaman penuh.
Tidak, Raefal tidak ingin gila sebelum mencapai cita-citanya yaitu menjadi dokter bedah, impiannya yang benar-benar harus ia raih.
Suara menyambungkan panggilan pun terdengar.
"Halo sayang? Tumben banget malam-malam gini telfon mama kangen ya kamu." Ucap wanita di sebrang sana setelah panggilan tersambung.
"Iya ma, lagi kangen banget ini." Balas pria itu.
"Papa gimana ma?" Lanjut nya lagi.
"Ngga kenapa-kenapa, tuh dia lagi baca koran di depan TV biasalah kerjaan bapak bapak mah gitu, udah tuaa." Balas sang mama membuat kekehan kecil keluar dari bibir Raefal.
"Yaelah mama mah ngga sadar diri tua-tua gitu mama cinta kan." Sepertinya Raefal ingin menggoda orang tuanya itu sebelum mengarah ke arah yang lebih serius tentang alsan mengapa ia menelfon.
"Mama mau sama papa tuh karena uang papa banyak, kalau ngga mah udah mama tinggalin papa tuh."
"Ihhhh papa sakit tauuu, Bil, Masa papa kamu tadi lemparin mama pake bantal sofa."
Raefal tertawa membayangkan jika ia menyaksikan pertikaian kecil kedua orangtuanya itu, baginya saat ini tidak ada yang lebih bahagia selain keluarganya, yaaa mungkin saat ini tidak tau jika kedepannya akan bagaimana, alur hidupnya sekarang menjadi tidak tertebak.
"Makanya ma jangan kualat sama suami." Ujar Raefal setelah menetralkan tawa nya.
"Ihh abil mah gitu pasti kamu udah di sogok sama papa kan makanya sekarang kamu ada ditim papa." Mamanya mengadu kesal.
"Abil mah pilih yang mana untung kali maaa, kalau mau di tim mama berarti mama harus nyogok aku lebih banyak lagi dari papa." Raefal berujar bertujuan menggoda sang mama, memang sih satu-satu wanita di keluarganya itu sering sekali menjadi bahan keusilannya dengan sang papa.
"Yaudah ntar mama sogok pake donat lima kotak aja."
Raefal yang mendengar makanan favoritnya langsung saja menyepakati pembicaraan yang random tersebut, lalu setelahnya mereka hanya tertawa.
"Maa sebenarnya aku itu mau ngomong." Raefal memulai pembicaraan yang sedikit lebih serius dari pembicaraan mereka tadi.
"Ngomong apa sayang bilang aja ke mama ngga papa kok." Jawab wanita itu yang seakan tau jika ada hal serius yang ingin di sampaikan padanya, dari awal Raefal menelfon nya saja sudah sangat tau jika anaknya sedang mengalami masalah, wanita itu sangat hafal dengan sifat anak satu-satunya ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝙃𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙚𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓
Teen Fiction"Ck, cepetan permintaan lo apa!" Raefal mendengus malas, melihat seringai pria tan di depannya membuat keinginan melempar helm ke wajah pria itu makin tinggi. "Gue mau lo jadi pacar gue." detik pertama... detik ke dua... detik ke tiga... "Lo gila...