Chapter 6

115 24 2
                                    

"Giving up is not easy, but fighting is certainly more difficult."

***

Ruangan bernuansa coklat itu, dulu pernah ia kagumi karena desain dan suasananya yang nyaman. Kini ruangan yang masih ia pijak itu tak lagi terasa sama, hanya ada kemuakan sejauh matanya memandang. Minju, tak bisa mengeluarkan lagi air matanya yang bahkan sama sekali tidak menggenang di pelupuk mata. Ia terasa mati, mungkin hanya raganya yang kini masih terduduk sambil memeluk lututnya erat di atas lantai. Nyatanya tatapan Minju kosong, ia seperti mayat hidup yang tidak ingin hidup lagi.

Perlahan dengan amat lunglai, Minju mencoba meraih jaketnya yang ia simpan di dalam tasnya. Baju yang ia kenakan sebelumnya mungkin sudah tidak bisa ia kenakan karena sudah robek. Ia berusaha memakai jaket miliknya yang selalu ia simpan di dalam tas dengan sisa tenaga yang ia punya, karena seluruh kekuatannya seolah sudah habis. Ia memberontak sebanyak apapun yang ia bisa, meski nyatanya hasilnya nihil.

Lelaki itu masih tergeletak di atas ranjang. Mirisnya, lelaki itu mungkin tidak akan sadar dengan apa yang dia telah lakukan kepada Minju. Minju yang telah hancur tanpa sisa hanya akan menjadi satu-satunya orang yang paling menderita. Semuanya telah direnggut secara paksa oleh takdir kejam yang ia miliki.
Minju sama sekali tak mengerti. Kenapa harus dirinya, kenapa harus ia dari sekian juta manusia di bumi ini yang memiliki hidup mengenaskan seperti ini. Kenapa ia harus hidup jika harus menjadi semenjijikan ini.

Dada Minju sesak, namun rasanya hanya kekosongan, terasa sangat hampa. Sakit dalam batinnya yang ia dapatkan secara terus-menerus membuatnya mati rasa.

Iris mata Minju melirik sebuah CCTV di ujung ruangan yang tertutup bingkai besar bergambar singa. Ia menatap benda itu datar. Itu adalah benda rahasia milik Sakura yang diberitahukan kepadanya. Kata Sakura, rumahnya yang dipenuhi oleh orang asing yang tidak membuatnya nyaman dan harus tetap diawasi. Kini CCTV itu hanya akan menjadi kehancuran lain dalam diri Minju.

Minju tetap memandang benda kecil itu datar. Mungkin ia akan menancapkan pedang kematian ke dada Sakura jika lelaki itu melihat semua ini. Membayangkan Sakura menyaksikan kehancurannya, membuat Minju seperti kehilangan akalnya. Ia sudah tak memiliki martabat apa-apa lagi sebagai perempuan, juga mungkin sebagai manusia. Bagimana bisa ia bertemu dengan Sakura lagi jika hanya untuk menunjukan serendah apa dirinya.
Minju ingin tidak peduli. Ia hanya harus tidak peduli dengan semua yang menjadi beban selama ini.

Sakura, masa lalunya, kehidupannya, dan masa depan, ia tidak ingin peduli lagi. Kehidupannya benar-benar membuatnya muak. Ia tidak ingin memikirkan apa-apa dan siapapun lagi. Ia juga hancur, jadi biarkan Minju menggenggam keegoisan dalam dirinya sekali saja. Apa yang akan dikatakan seluruh manusia di bumi ini, apa yang telah dilakukan Chaeyeon beberapa waktu lalu kepadanya, dan apa yang akan Sakura saksikan di dalam kamarnya sendiri, semuanya hanya fantasi yang ingin dilupakan dalam ingatan Minju. Minju ingin hidup dengan semestinya, bahkan ketika ia sudah hancur tak terbentuk. Ia ingin kembali utuh sebagai manusia normal.

Malam masih terlalu dini untuk mencapai matahari. Minju mencoba menyeret kakinya yang terasa kebas, bahkan jalannya sedikit pincang. Ia menyusuri trotoar, berharap tidak akan tumbang sebelum sampai di asrama. Larut malam menjelang pagi seperti ini tidak mungkin ada taksi yang akan lewat, meski sebenarnya Minju tak berminat memesan.
Sekitar dua sampai tiga jam Minju akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besar. Ia kemudian melewatinya dan benar-benar berhenti di sebuah celah kecil yang membuatnya bisa keluar masuk untuk bekerja di malam hari seperti biasanya. Asrama mahasiswa yang ia tinggali bersama mahasiswa perantauan lainnya tampak sangat lengang meskipun langit mulai sedikit bercahaya. Ia sedikit merapikan rambutnya yang kacau, lalu berjalan masuk seolah tak terjadi apa-apa.
Minju membuka pintu kamarnya, menatap tiga gadis lain yang masih berselimut di ranjang. Ia berniat meletakkan tasnya ke dalam lemari miliknya, namun ketika ia membukanya, benda yang menumpuk di dalamnya tumpah ruah. Tumpukan kaleng bir dan bungkus makanan ringan berjatuhan ke arah kakinya hingga menimbulkan suara yang cukup berisik. Minju menatap sampah-sampah itu dengan datar, tanpa ekspresi.
Minju terus menatap sampah-sampah yang dijejalkan paksa ke dalam lemarinya, sampai terdengar suara pintu terbuka.

I Like You As Soon As I Hated YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang