Chapter 21

101 26 4
                                    

"Sakura sekalipun. Eunbi sekalipun. Seburuk apapun masa lalu mereka, mereka tetap membutuhkan masa depan yang normal seperti manusia lainnya."

***

Pagi yang dingin, Eunbi yang lapar. Ia selalu ragu untuk memakan sesuatu karena hanya akan berakhir dengan mual dan muntah yang akan menyebabkan tubuhnya semakin kehilangan tenaga. Matahari bahkan belum terbit sepenuhnya dan Eunbi sudah selapar ini. Sepanjang malam, ia hanya memikirkan makanan dan mungkin hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Jangan lupakan bahwa Eunbi memiliki insomnia, dan sekarang bukan saatnya meminum obat tidur karena ia harus meminum obat anti mual demi bisa melanjutkan kehidupannya.

Lagi-lagi Eunbi mengenakan pakaian tertutup, padahal hawa panas di penghujung musim semi pada siang hari mulai terasa di beberapa hari terakhir ini. Bukan hoodie seperti biasanya, kali ini Eunbi mengenakan jaket parka berwarna hitam dan kaos tipis dibaliknya. Celana jeans panjang yang ia pakai sebenarnya mungkin sangat jauh dari gaya stylenya.

Eunbi masih sibuk dengan sekotak susu yang tengah ia tuangkan ke dalam gelas panjang. Suara pemanggang yang telah selesai bekerja mengeluarkan dua lembar roti panggang yang kemudian Eunbi angkat dan ia letakan ke atas piring.

Eunbi berharap kali ini ia tidak akan mual, karena ia sadar tubuhnya akhir-akhir ini seperti tak memiliki tenaga sama sekali. Setidaknya ia harus makan meskipun sedikit.

Eunbi meletakkan telur mata sapi ke atas lembaran roti, memberikan lelehan keju di atasnya, kemudian ia tutup lagi menggunakan roti yang lain. Bentuk sarapan seperti itu biasa disiapkan Hyewon ketika di apartemennya. Sebenarnya, baru kali ini Eunbi melakukannya sendiri. Hyewon yang terlalu rajin dan disiplin selalu bangun lebih awal, membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, dan menghilang entah kemana ketika Eunbi membuka matanya. Sudah sering Eunbi melarangnya melakukannya dan cukup memanggil asisten rumah tangga yang bekerja pada Eunbi, namun Hyewon tidak membiarkannya. Ia malah memberikan nasihat sepanjang kereta api kepada Eunbi agar bisa hidup mandiri tanpa bantuan orang lain.

Eunbi menutup matanya ketika segigit roti yang telah ia buat telah berada dalam mulutnya. Ia mengunyahnya perlahan, dan lagi. Ternyata, rasa amis telur yang ia buat sangat menganggu penciumannya dan membuat perutnya bergejolak. Eunbi meraih susu di hadapannya dan segera meminumnya untuk membuat makanan yang ada dalam mulutnya dapat tertelan. Namun, justru semakin parah. Eunbi berlari ke arah wastafel cuci piring, mencoba memuntahkan apa yang ada dalam mulutnya, juga cairan dalam perutnya.

Eunbi menyingkiran rambut yang menutupi dahi dan menekan alisnya untuk menetralkan rasa pening di kepalanya. Tangannya yang lain menyentuh perutnya pelan.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" ucap Eunbi pelan. Ia lelah seperti ini. Mungkin sebentar lagi ia akan dilarikan ke rumah sakit karena tidak makan dengan baik selama berhari-hari.

Eunbi akhirnya berbalik, meminum segelas air putih, menarik selembar roti dan meninggalkan keju dan telurnya di sana. Ia kembali ke kamar untuk memeriksa kembali tampilannya. Tampilan yang sangat buruk baginya. Tapi ia tak peduli dan hanya menyambar sebuah topi dan tasnya yang tergeletak di atas ranjang.

Pagi ini, Eunbi memutuskan untuk berangkat kuliah. Ia tidak boleh terus-menerus mengambil bagian liburnya atau lebih buruk lagi membolos di beberapa mata kuliah. Setidaknya, meski hidupnya sudah seberantakan ini, ia tidak harus berakhir dipecat juga di perusahaan ayahnya sendiri karena tidak memiliki ijazah sarjana.
Eunbi menatap jam tangannya, kemudian memandang sebuah pintu yang masih tertutup rapat. Tidak. Eunbi tidak perduli dengan lelaki itu. Biarkan di antara mereka membangun sebuah dinding tebal, yang tak bisa melewatinya satu sama lain, seperti orang asing dalam satu atap. Asalkan antara keduanya tidak merugikan satu sama lain untuk masa kedepannya, maka semua itu cukup. Ia mungkin bisa lebih kuat lagi untuk melanjutkan kehidupan dan mencoba melupakan segala keburukan yang pernah ia alami.

I Like You As Soon As I Hated YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang