18. Ancaman

712 44 11
                                    

Sudah hampir satu jam Leta duduk di depan meja belajarnya, sama sekali bukan belajar atau mengerjakan tugas. Hanya duduk diam tanpa melakukan apapun, menatap ke luar jendela yang terbuka di sampingnya, menatap bulan setengah lingkaran yang malam ini bersinar sendirian tanpa ada satupun bintang yang menemani.

Hujan yang berhenti sejak dirinya sampai di rumah senja tadi sudah tidak ada tanda-tanda akan turun lagi. Padahal sepertinya akan bagus jika turun hujan sekarang, membuat suasana nyaman bergelung di dalam selimut.

Bulan yang sedari tadi dipandangnya tertutup awan juga angin malam semakin dingin, Leta memilih menutup jendelanya, lalu menatap buku-buku di meja tanpa minat. Otaknya masih terus berputar mengingat semua yang terjadi hari ini. Soal Lintang yang tiba-tiba meminta putus juga soal Jun dan ceritanya.

Lalu mengusak rambutnya kasar melihat ponsel miliknya tergeletak di meja yang mengingatkannya adegan canggung dengan Lintang di depan rumahnya sore tadi.

"Lintang?" Leta terdiam menatap Lintang dengan baju yang setengah basah duduk di atas motornya yang diparkir di depan gerbang rumah Leta.

Tanpa kata Lintang mendekati Leta melangkah dengan ringan seperti tidak ada kejadian apapun sebelumnya, mengulurkan slingbag milik Leta yang sebelumnya ditinggalkan begitu saja. Maksudnya berusaha seperti tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya karena raut wajahnya benar-benar menyiratkan segalanya.

"Hujan, sejak kapan lo nungguin di situ?" tanya Leta.

"Belum lama," sahut Lintang sambil menggoyangkan slingbag Leta yang akhirnya diterima oleh pemiliknya.

"Makasih," hanya itu yang bisa Leta ucapkan.

"Hm, barang penting jangan ditinggal sembarangan." Leta mengangguk pelan.

"Gue pulang," pamit Lintang kembali menaiki motornya melajukan motornya dengan kecepatan normal. Itu semua tentu saja tidak lepas dari tatapan Leta meski tanpa ada niatan untuk kembali mengeluarkan kata-kata.

Pasti dingin, bisa-bisanya ujan-ujanan. Jangan sakit. Batin Leta.

Leta mengusap wajahnya, mendengus keras. "Canggung banget dah. Gimana kalo ketemu di sekolah besok."

"Yang lebih penting, gimana kalo dia sakit gara-gara ujan-ujanan nungguin gue. Mana dia pasti juga nungguin lama di mall. Pasti khawatir-- eh dia khawatir nggak ya?"

"Jun." Leta baru menyadari satu hal. "Lintang lihat gue dianter Jun? Marah nggak ya?" Leta memekik tertahan, mengacak rambutnya kesal.

Lelah berkutat dengan pikirannya Leta memilih turun untuk mengisi perutnya yang sebenarnya terus berbunyi sejak tadi meski sebenernya tidak terlalu lapar. Padahal tidak begitu lapar, dan tidak berselera makan juga tapi setidaknya menghargai mamanya yang tadi tampak sedang menyiapkan makan malam.

Saat menuruni tangga tampak mamanya sedang berkutat dengan laptopnya di ruang keluarga, akhirnya Leta mengalihkan tujuan awalnya memilih duduk di sebelah mamanya bersandar di bahu mamanya yang terlihat tidak terganggu.

"Mama masak apa tadi?"

"Sop ayam, coba liat deh masih ada apa nggak soalnya tadi papa makan lahap banget tumben," sahut Nita masih fokus dengan laptopnya.

"Jadi ceritanya udah baikan nih?" pertanyaan Leta membuat pergerakan Nita terhenti, lalu memilih menutup laptopnya membuat Leta beralih merebahkan kepalanya di pangkuan mamanya.

"Mama sama papa nggak berantem kok, kemaren cuma lagi sensi aja capek sama kerjaan. Mama khawatir kamu pulang terlambat kemaren, terus nenek telpon katanya kamu di sana. Leta lihat mama sama papa berantem ya? Maaf ya?" Nita mengelus surai Putri semata wayangnya.

Kita Putus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang