29. What's wrong?

560 38 14
                                    

Leta sangat senang akhirnya tangannya bebas dari jarum infus. Akhirnya bisa segera kembali ke kamarnya, ruangan ternyaman di dunia. Meninggalkan mamanya yang sibuk membereskan barang-barangnya, Leta pamit berjalan-jalan sebentar sekalian mencari sang papa yang sedang bertugas.

Bukan maksud tidak ingin membantu mamanya, tapi tidak bisa. Tangan kanannya masih menggunakan penyangga dan tangan kirinya, bahkan jarum infus baru saja dilepaskan beberapa menit yang lalu. Lagi pula sang mama memang melarangnya.

Leta akhirnya duduk, mengetuk-ngetuk lantai dengan kedua kakinya bergantian. Bersenandung pelan, moodnya lumayan naik siang ini. Mengedarkan pandangannya, sekedar melihat orang-orang disekitar dan perawat yang sibuk bolak-balik.

"Kok lama ya, papa beneran di dalem nggak sih?" Leta menatap pintu di depannya cukup lama. "Jangan-jangan suster Vivi ngerjain gue nih."

Leta berdiri, mencoba mengintip ke dalam ruangan. Meragukan ucapan suster Vivi yang kebetulan berpapasan dengannya beberapa saat lalu. Mungkin suster Vivi salah lihat, bukan papa yang masuk ke ruangan ini tadi.

Ceklek

Leta tersenyum lebar saat melihat papanya baru saja keluar dari ruangan itu. Segera menghambur memeluk papanya yang bahkan belum sempat menutup pintu kembali.

"Loh, kok tahu papa di sini?"

Leta melepas pelukannya tersenyum senang. "Suster Vivi yang kasih tahu tadi."

"Kamu masih belum pulang?"

"Mau papa yang nganter pulang," rengek Leta.

"Tapi--"

"Harus pokoknya, atau aku bakal marah."

"Oke, tunggu lima belas menit--"

"Jun?" Leta menghentikan pergerakan papanya yang hendak menutup pintu. Bahkan membuka pintu lebar-lebar.

Leta menghampiri Jun yang setengah duduk di ranjang rumah sakit, dengan pakaian pasien. Leta menghampiri cowok itu dengan tatapan tidak percaya, matanya terbuka lebar. Yang ditatap hanya cengengesan, menggaruk tengkuknya. Leta duduk di sebelah ranjang Jun bahkan sebelum dipersilakan.

"Lo sakit? Sakit apa? Sejak kapan? Kenapa nggak ngabarin? Udah lihat gue dari tadi kenapa nggak nyapa duluan?" tanya Leta beruntun.

"Nanya satu-satu dong Kak. Gue bingung jawab yang mana dulu. Udah lupa nih pertanyaannya apa aja."

"Juna itu temen kamu?" Leta menoleh melihat papanya kembali masuk ruangan menyusul Leta.

"Iya, dia adik kelas aku. Jun sakit apa Pa?"

Keenan bertanya kepada Jun lewat tatapan matanya, Jun tersenyum mengangguk mengiyakan. "Cidera lutut. Meniskus robek dan sudah dioperasi kemarin. Tinggal latihan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi lutut seperti semula."

"Sampe dioperasi? Lo ngapain sampe bisa cidera gitu?" tanya Leta sedikit meninggikan suaranya.

"Basket. Atlet biasa kali cidera gitu. Udah resiko," sahut Jun enteng.

"Sejak kapan lo jadi atlet?" Leta memicingkan matanya.

"Doain aja Kak. Sekarang cuma tim basket sekolah, siapa tahu suatu saat nanti jadi atlet beneran."

"Leta, papa ada urusan bentar. Nanti papa hubungi kalo udah selesai ya?" Keenan mengusak surai putrinya. "Jun, jangan banyak gerak dulu ya kakinya?"

"Iya Dok." Jun tersenyum mengangguk pelan.

Tepat setelah papanya menutup pintu, Leta mendudukkan diri di samping ranjang Jun. "Lo, sejak kapan dirawat?"

"Dua hari yang lalu, satu hari setelah kak Leta kecelakaan. Sorry gue belum sempet jenguk kak Leta. Soalnya baru denger kabarnya pagi-pagi, dan siangnya gue kesini dianter udah nggak bisa jalan hehe...."

Kita Putus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang