25. Piano

480 42 40
                                    

Suasana kelas 11 IPA 4 begitu ramai siang ini, guru yang seharusnya mengajar tidak datang entah karena apa. Marvin si ketua kelas absen karena sakit hari ini, dan tidak ada siswa lain yang berinisiatif memanggil guru yang tak kunjung datang atau menanyakan apabila ada tugas seperti yang biasa dilakukan sang ketua kelas. Mereka bilang, nanggung sebentar lagi juga pulang. Semua asik dengan dunianya sendiri, siap-siap saja jika nanti ketahuan bu Hera atau pak Saiful sudah dipastikan mendapat ceramah selama berjam-jam dan berakhir pulang terlambat.

Meski seramai itu, Leta tidak menghiraukan sama sekali. Merebahkan kepalanya di meja dengan kedua lengannya dilipat sebagai bantalan. Bukan tidur, hanya memejamkan matanya karena faktanya telinganya masih bisa mendengar perdebatan Imel dan Echan yang tak habis-habis sedari tadi. Walau begitu Leta sama sekali tidak peduli, sibuk dengan otaknya yang tidak pernah berhenti berpikir tentang Lintang barang sejenak.

Leta masih memikirkan pernyataan Lintang kemarin, soal mantan yang ternyata masih belum bisa dilupakan olehnya. Memang mereka sudah berbeda alam, dia tidak mungkin kembali lagi. Tapi, melupakan mantan karena ditinggal mati sepertinya terlalu sulit. Lalu apa arti Leta bagi cowok itu selama ini jika hatinya masih dipenuhi nama Meisya yang bahkan raganya tidak akan pernah bisa kembali lagi ke dunia. Apa arti perhatian yang akhir-akhir ini mulai ditunjukkan oleh pemuda itu kepadanya. Apa semua itu tidak berarti apa-apa bagi Lintang? Lalu apa Leta masih memiliki harapan?

Tangan kanan Leta terangkat mulai memukuli kepalanya yang sebenarnya terasa sakit sedari tadi. Awalnya pelan lama-kelamaan semakin keras saat dirasa pukulannya tidak begitu berpengaruh. Leta tersentak kaget membuka matanya saat seseorang meraih tangannya, menghentikan pergerakannya.

"L--Lintang lo! Lo kok di sini?"

Lintang melepaskan tangan Leta lalu memilih duduk di sebelah pacarnya itu. "Pulang sekolah nyamperin pacar, nggak ada yang aneh kan?"

"Pulang?" Leta mengedarkan pandangannya. Beberapa temannya sudah pulang ternyata, meskipun sebagian besar masih sibuk membereskan barang-barangnya dan beberapa masih sibuk berbincang.

"Pulang sekolah nyamperin pacar itu wajar, tapi khusus buat orang bernama Lintang Pradipha itu adalah keajaiban dunia," celetuk Imel yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Lintang. Gadis itu mulai membereskan buku-buku di atas mejanya.

"Seaneh itu?" Lintang menaikkan kedua alisnya.

"Ya iyalah, kesambet apaan lo tiba-tiba mengakui Leta sebagai pacar." Imel menarik lengan Lintang agar bangun dari posisi duduknya. "Minggir! Gue mau beresin tas gue-- mau pulang."

"Serius ini udah pulang? Kok, gue nggak denger bel?" tanya Leta yang masih belum percaya.

"Ya iyalah, lo kan tidur," jawab Imel.

"Gue nggak tidur ya. Lo berantem sama Echan aja gue denger, kok. Bahas soal drakor, kan?"

"Bodo amat, gue mau pulang. Bye!" Imel beranjak meninggalkan kelas, meninggalkan sepasang muda mudi yang kini kembali duduk di tempat semula.

"Kenapa dipukulin kepalanya?"

Leta menoleh mendengar pertanyaan Lintang. "Sakit kepala," jawabnya seadanya.

Sebenernya juga gara-gara kesel otaknya gamau berhenti mikirin lo, sih. Lanjut Leta dalam hati.

"Sakitnya gak bakal berkurang kalo dipukulin, yang ada nambah sakit doang."

Leta mengerjap beberapa kali, terdiam saat punggung tangan Lintang mendarat di dahinya.

"Nggak demam kok," gumam Lintang.

"Hah? Oh, gak terlalu sakit, kok. Cuma agak pusing aja. Kebanyakan mikir kali."

"Tahu nggak, mukulin tubuh sendiri juga termasuk self harm loh. Jangan kebiasaan kayak gitu."

Kita Putus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang