2.| Bagaikan 14 tahun.

20 0 0
                                        


Tinggi, putih, rambut tebal tersisir rapi. Hidung mancung, bibir merah muda, mata sayu dan alis melengkung sempurna dengan ketebalan sedang.

Sungguh nyata gambaran khayalku itu. Khayalan yang kurajut entah sejak kapan aku tertabrak ide menulis novel yang telah rampung semalam itu.

Khayalan yang juga keinginan, hasrat, dan impian akan wujud pangeran idaman. Kukira hanya akan bertahta dalam bentuk khayal saja. Ternyata khayalan bisa jadi kenyataan juga.

Suaranya, perhatiannya, antusiasnya...

Oh Tuhan...

Setelah tiga puluh menit berbincang banyak hal dimulai dari kegiatan belajar di kelasku, biodata kami berdua, dan juga tukaran nomor WA, kurasa percakapan ini memang harus berakhir. Aku yang emang sedari tadi gugup menutupi perasaan kaget akibat berjumpa dengannya, akhirnya memberanikan diri bertanya, "Abis ini kamu mau balik ke kampus lagi ?"

Dia malah semangat menjawab," Nggak bu. Saya pingin keliling melihat sekolah. "

Hmm.. baiklah.. satu siksaan lagi bagi jantungku. Mau tak mau kusahut, " Mm, ayolah, saya antar keliling. "

Lalu dia meraih tas ransel hitamnya dan menyandangnya di bahu kanan. Kami berjalan keluar dari ruang guru dan mengarah ke kiri, di mana dapur dan laboratorium bersisian. Kuberi penjelasan seadanya tentang keadaan di dua ruangan itu. Lalu kami meneruskan jalan lagi melewati kelas satu, tempat mereka berkumpul tadi, kelas dua, dan kelas tiga. Tepat di sisi luar dinding kelasku, terlukis pemandangan alam.

" Kemarin saya ngasi materi tentang lingkungan alam pakai video dari lukisan ini. " Kataku. Dia memperhatikan dan mengangguk. Lalu kami masuk ke kelasku.

Justin memotret papan data kelas yang sudah mulai terhapus beberapa tulisannya.

" Kalau mau foto jadwal pelajaran, di sini ada. Yang di situ sudah kurang jelas. "
Kataku.

" Ga apa bu, nanti yang itu saya foto juga. " Begitu responnya.

Kujelaskan tentang jumlah muridku yang lumayan banyak dan udara di kelas yang sering terasa panas jika sudah menjelang jam 10 ke atas. Dia menyimak dengan baik.

Lalu kami berjalan lagi bersisian. Ah, dia ga tau aja aku jantungan..

Sampai di kelas terujung dari sisi kanan yaitu kelas 4. Ternyata di situ ada bu Yusi dan 2 mahasiswi bimbingannya. Namanya Dinda dan Fina. Begitu melihatku, bu Yusi langsung curcol tentang program kerja anak-anak itu. Sambil berdiri di tangga yang tersiram matahari aku menanggapi curhatan si ibu. Kurasakan Justin ingin menarikku naik dari tangga agar tidak tersiram sinar matahari yang sudah mulai terik itu. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya.
Aku emang membutuhkan hangat mentari untuk menguatkan diri yang terasa dingin akibat rasa terkejut dan keterpaksaan harus berdekatan dengan dirinya.

Kutawari dua cewek itu untuk ikutan tur keliling sekolah. Mereka mau. Lalu kami lanjut ke gedung perpustakaan yang terpisah setelah sebelumnya menyusuri koridor berpaving blok di samping perpustakaan yang mengarah ke parkiran belakang. Sedikit penjelasan juga kuberikan. Mereka menyimak dengan baik. Saat aku dan dua cewek itu memasuki ruang perpustakaan yang mengharuskan kami lepas sepatu, Justin memilih menunggu di tiang teras. Kuajak masuk, dia menggeleng. Rupanya dia tidak mau buka sepatu. Hmm, satu penilaian tentang pribadinya mulai terkuak. Dia keras kepala dalam mempertahankan kemauannya. Sepertinya tak seorang pun bisa mengubah apa yang dia yakini.

Setelah perpustakaan kami lanjut ke sisi kiri sekolah, yang mesti terhenti sejenak karena aku menyalami ibu penjaga kantin yang notabene istri pak Jul, petugas kebersihan sekolah.

Saat melanjutkan, Justin terlihat antusias. Aku mengucap salam tiap mau masuk kelas, menyalakan lampu dan membiarkan mereka melihat-lihat. Beberapa kelas terlewati, sampai akhirnya kami tiba di WC dan UKS.

Di koridor sebelum WC, di dua dinding berhadapan itu terlukis peta dunia dan peta Indonesia. Kujelaskan kalau aku juga sering memakainya saat menjelaskan materi pada siswa. Jadi model belajarnya di luar ruang kelas. Wah, Justin terlihat senang sekali mendengarnya.

Saat tur keliling sekolah itu berakhir, mereka izin kumpul dengan yang lain di ruang kelas 1.

Aku duduk di ruang guru. Terdiam. Mengatur napas sebaik-baiknya. Meredakan bulu kuduk yang meremang.
Dengan wa aku menghubungi teman yang menjadi penghubungku dengan penerbit. Kuceritakan apa yang baru saja kualami. Eh, bukannya bersimpati, dia malah membuatku lebih takut dengan menceritakan pengalaman seorang wartawan senior yang sekaligus novelis, yang mengalami nasib tragis setelah menyelesaikan novelnya yaitu meninggalnya anak dan suaminya sesuai isi cerita novelnya.

Ih, aku jadi tambah merinding. Kuketuk-ketuk jari di atas buku panduan guru untuk mengurangi keresahan. Lalu terbersit ide
untuk meminjamkan buku ini pada Justin. Barangkali dia memerlukan untuk tahu apa saja materi pelajaran di kelas 3.

Aku berdiri, meraih buku itu dan menjumpainya di kelas satu. Senyumnya sumringah, menyenangkan hatiku tapi membuat teman-temannya jadi curiga, senyum-senyum, dan mencurahkan perhatian sepenuhnya pada kami berdua.

Ah, kenapa tiba-tiba aku merasa bagaikan remaja 14 tahun yang merona saat berpapasan dengan sang pujaan hati ?



JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang