19.| Eskalasi

10 0 0
                                    

Tanpa diperbolehkan ganti baju yang lebih sopan, kami melewatkan sore hari hingga malam bersama. Sebenarnya dia mengajakku makan malam di luar. Tapi aku menolaknya secara halus, bilang kalau aku masih ada stok bahan makanan yang harus dimasak hari ini. Sebenarnya aku malu bila harus keluar bersama dengan dirinya. Malu apabila orang melihat kami sangat berbeda. Bila waktu itu kami sempat bicara di kafe atas permintaanku, itu pun sudah kutekan sedemikian dalam rasa malu yang ada. Jujur aku belum siap jika harus keluar bersamanya. Aku pun takut jika dia bertemu temannya saat bersama aku. Aku takut membuatnya malu.

Sore itu kami ngopi bareng sambil makan cemilan yang kupunya. Rupanya aku masih punya sebungkus biskuit keju asin yang tadinya kurencanakan untuk kuberikan ke adik-adik di panti. Bahan percakapan pun beragam yang kami jalin. Dari persiapannya untuk mengajukan judul skripsi sampai pada persiapanku untuk supervisi.

Kami saling mendukung, itu sudah pasti. Yang semakin kusuka adalah matanya yang semakin bersinar bila ia bicara dan suaranya yang tak lagi terdengar terlalu pelan. Ia sudah lebih percaya diri.

"Aku suka meja kerjamu itu." Gumam Justin sambil dagunya mengarah pada meja kerjaku yang kuposisikan di sudut ruang tamu. Rumahku tak besar, maka penempatan barang dan penggunaan ruangan sebisa mungkin kubuat maksimal. Meja kayu itu terbuat dari kayu solid, ukurannya agak lebih besar dari meja kerja biasa. Dilengkapi kursi empuk. Bukan jenis kursi putar atau kursi gamer. Yang jelas, kursi itu enak buat diajak ngetik dan rebahan punggung bila terasa pegal. Laci-lacinya ada beberapa tempat kusimpan segala keperluan kerja dan juga alat-alat gambarku. Lemari kaca bening di sudut sebelahnya menampung sebagian besar koleksi buku dan novel. Ada televisi di dekatnya. Tapi jarang kuhidupkan. Aku tak terlalu suka nonton televisi, aku membutuhkan televisi hanya untuk suaranya, agar rumah tak terlalu sepi.

"Ya itu investasi yang lumayan juga. Enak buat kerja, kayunya juga berat, bisa berumur panjang. Anti bubuk juga dia." Sahutku.
Harganya memang lumayan.

Justin berdiri dan berjalan ke arah meja itu. Dia mencoba duduk di kursinya. Justin terlihat senang.

" Sini." Panggilnya.
Aku mengernyitkan dahi seolah bertanya, "Ada apa ?"

"Sini lah." Pintanya sambil tersenyum.

Aku mendekat. Lalu dia menyuruhku duduk di meja berhadapan dengannya.

Hmm. Justin nakal juga rupanya. Aku tertawa saja dan menurutinya.

" Mau ngetes seberapa kuat mejanya bisa menahan berat ya ? " Tanyaku.

Justin tertawa.

" Kamu coba kalo nebak, disimpan dalam hati aja. Tebakanmu benar semua. " Katanya.

Jadilah sekalian aku menumpangkan kaki di pangkuannya. Dan Justin mengelus-elus betisku.

" Aku suka kakimu. Panjang. Terawat. " Katanya.

Aku menatapnya saja. Jangan terus membangunkan jiwa liarku ini, Justin. Lirihku dalam hati. Bagaimanapun juga kami manusia, lain jenis, menyimpan hasrat satu sama lain. Bila tak mampu menjaga diri, maka akan ada yang kami sesali nanti.

Justin mendorong ujung dasterku semakin naik ke pahaku. Jemarinya mengelus kulitku dengan tekanan yang membuatku nyaman alih-alih geli. Satu kecupan singgah di lututku.
Ya, tak usah disangkal lagi kalau itu mengirimkan rasa setrum yang sangat kuat dalam diriku.

"Justin.. stop." Bisikku. Aku tak ingin membuatnya tersinggung, tapi aku juga tak ingin dia berjalan terlalu jauh. Aku tak ingin dia merasakan sakit.

"Oke, aku juga cuma ngetes aja kok.." Katanya sambil senyum.

"Ayo turun.. sudah besar kok masih naik-naik ke atas meja." Sempat dia bercanda.

"Ih, bukannya kamu yang minta tadi." Protesku.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang