Kesedihan macam apa ini, aku ingin menangis tapi tak bisa karena aku percaya masa depan itu indah. Aku merasa sedih karena harus kembali pulang ke Pontianak. Yang itu artinya aku harus berpisah dengan Justin.
Pagi ini selepas subuh, kesibukan persiapan pulang sudah dimulai. Ada yang berbagi tugas loading barang bawaan peserta, ada yang sibuk memeriksa peralatan, ada juga yang cuma duduk menunggu dengan sabar agar panitia inti dapat bekerja dengan baik.
Sekitar jam 7 pagi dua bus besar pariwisata berpendingin udara sudah parkir di tepi jalan. Supirnya juga sudah berkoordinasi dengan tim pramuka dan tim posko bencana. Tak lama kemudian terdengar komando untuk membuat formasi barisan. Kami akan upacara penutupan di halaman posko. Seperti saat datang, kami juga mengadakan upacara.
Yang berbicara di depan sana tentu saja bapak berkumis yang jadi atasan Justin. Justin sendiri berada di tepi lapangan sambil kadang-kadang melempar pandangan padaku.
Bedanya kali ini aku tak berdiri di belakang Meme. Kami sudah pecah kongsi, jadi dia memilih berdiri di dekat ketua kelompok. Dan selesailah sudah. Semua bersalam-salaman, menepuk lengan, saling memberi hormat, dan tersenyum menyemangati.Bagaimana dengan aku dan Justin ? Kalau kau bayangkan aku bergandengan tangan dan memeluk lengannya, itu salah. Aku tetap saja sibuk mengurusi ini itu karena kebetulan diserahi absensi oleh ketua kelompok. Mau mengekori Meme pun sulit karena dia juga bertugas mengecek peralatan milik organisasi yang harus lengkap utk dibawa pulang. Justin kulihat sibuk bicara pada beberapa orang, termasuk pada kedua pak supir itu. Sesekali pandangannya mencariku, dan aku merasakan itu, sehingga aku pun balas menatapnya sekilas dan pura-pura sibuk dengan kertas absensi.
"Bu Via, boleh kita mulai boarding bis ya." Perintah ketua, dia mengambil lembar absensi kedua yang khusus cowok kemudian berlalu menuju bis pertama dan mulai memanggil nama-nama yang akan menumpang di bis pertama itu. Aku juga mulai memanggil. Satu persatu mereka menaiki tangga dan masuk ke dalam bis.
"Pake ini." Sebuah megaphone diangsurkan ke depan mukaku oleh Justin.
Bikin kaget aja. Kami sama-sama tertawa. Dia berdiri di sebelahku dan aku mulai melanjutkan memanggil nama-nama yang tersisa menggunakan pengeras suara itu.
Setelah semua naik, aku serahkan kembali megaphone itu padanya. Itu milik kantor dinas sosial, kantor Justin."Kamu duduk di depan, di belakang supir. Aku tadi udah bilang sama dia. Ada tas isi air dan bekal buat kamu juga di kursi kamu." Kata Justin.
Aku yang sudah sedemikian gemetar dan sulit fokus, terpaksa mengangkat dagu dan menatapnya hanya untuk mengatakan, "Terima kasih " dengan suara serak.
"Aku yang terima kasih, untuk semuanya, untuk semua sayangmu padaku." Kata Justin. Dia berdiri mematung.
Aku ingin memeluknya. Aku ingin menciumnya dan membenamkan wajahku di bahunya. Aku sangat ingat harum parfum dan wangi rambutnya. Tapi aku tak berani.
"Kalau iya maka iya, kalau tidak maka tidak." Kataku. Justin paham itu. Kami sama-sama memahaminya dengan baik walau apapun yang terjadi. Haru menggelora dan airmataku jatuh sudah.
Justin memelukku erat. Sepertinya kudengar suit-suit dan tepuk tangan dari dalam bis. Tapi kami tak menghiraukan.
"Jaga dirimu baik-baik. Jaga kesehatan. Perbanyak doa, jaga pola makan, dan teratur berolahraga." Kata Justin hampir berbisik di telingaku. Aku mengangguk.
"Semoga Allah jaga tiap langkahmu dan mendewasakanmu." Kataku pelan. Justin seperti ingin menangis.
"I love you." Bisikku.
"I love you." Balasnya dalam bentuk statemen.
Lalu aku berjalan menuju pintu bis yang masih terbuka, dibantu naik oleh Justin. Genggamannya dipererat satu kali, lalu pintu bis menutup otomatis. Akulah penumpang terakhir itu. Bis mulai bergerak dan aku membeku. Menggigit bibir dan menatap sosok Justin di kaca spion yang semakin jauh, bulir-bulir airmata jatuh satu-satu. Teman di sebelahku tahu aku menangis, tapi dia menghargai privasiku dengan tetap diam. Sesaat kemudian hapeku banjir oleh kiriman emoticon cium dengan tanda love.
Kuhapus airmata dan sebisa yang aku mampu, kucoba tersenyum untuk menghibur hatiku.
Ahh, cinta tak pernah serumit dan sebahagia ini pada saat yang bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...