5.| Seribu Candi

5 0 0
                                    


Matahari sudah terbenam dan aku masih menunggu.

Demikian pesan kukirimkan ke akun WA milik Justin. Iseng sih aku. Saat itu lepas maghrib.

Balasannya adalah

wkwkwkwwk..
Masih dikonsep bu. Nanti kalau sudah jadi, saya kirim ke ibu.

Aku mendesah. Rasanya kesal karena mereka bekerja dalam ritme yang lambat menurutku. Apa susahnya sih merumuskan program kerja mereka yang cuma sebulan itu aja di sekolah kami. Pastinya kan ga lebih dari 10 jari ini kan ?

Tapi berusaha kupahami kalau mereka benar-benar masih awam dalam hal pembuatan program kerja kelompok seperti yang kuharapkan.

Aku memang meminta mereka memperjelas tujuan mereka datang ke sekolah kami. Saat hari pertama itu kami sama sekali belum mendapat kejelasan tentang apa yang akan mereka perbuat secara mendetil. Jadi, daripada menebak-nebak lebih baik kalau aku meminta kejelasan.

Tadi pagi aku undang mereka semua ke kelasku untuk sekedar briefing. Lewat Justin, dan itu pun lewat WA semalam, aku meminta mereka menjelaskan apa program kerja mereka.

Aku godain Justin kalo aku minta dibuatkan seribu candi. Jawabnya,

Wkwkwk, alat dan bahan tidak tersedia bu.

Lantas aku meminta tolong Justin untuk membelikan dulu sekardus air mineral dalam kemasan untuk besok. Rencananya aku akan membelikan mereka gorengan.

Esok paginya memang mereka menepati janji. Namun dari lirikan di ekor mataku, aku sempat melihat, yang membeli dan membawa sekardus air mineral itu adalah Della. Baru kemudian Justin yang mengangkutnya ke kelasku lalu membagi-bagikan ke teman-temannya.

Aku membuka pertemuan, lalu mempersilakan seorang perwakilan kelompok mereka, yang kemudian kuketahui bernama Meme, yang maju dan menjelaskan program kerja tersebut.

Aku yang duduk di belakang, sengaja agar suara Meme terdengar jelas dan lantang untuk mereka semua dan juga aku, menyerap penjelasannya dengan baik.

Intinya, mereka datang untuk membantu melengkapi fasilitas sekolah kami dengan apa yang mereka bisa, termasuk kelengkapan protokol kesehatan dan juga alat peraga untuk pembelajaran di kelas.

Sayangnya, saat briefing itu, mereka belum dapat menyerahkan draft barang selembar pun. Jadi, aku menuntut secepatnya agar aku bisa menggandakan dan membagikan ke guru-guru lainnya agar mereka tak salah paham menyuruh para mahasiswa dan mahasiswi ini untuk mengoreksi tugas anak-anak murid mereka.

Bagian terakhir briefing kulanjutkan dengan perkenalan. Masing-masing kupanggil namanya berdasarkan lembaran biodata yang mereka serahkan. Saat sampai di Justin, aku bertanya tentang nama tempat kelahirannya yang terdengar asing buatku. Semayang.

Nah, saat kupanggil namanya, Justin tengah sibuk dengan hapenya hingga tak mendengar panggilanku. Ia baru tersadar setelah beberapa temannya memanggilnya.

Hmm....bikin bete aja nih Justin. Iseng, aku ingin mengerjainya.

"Push up sana. 10 kali. " Perintahku.

Justin bengong, tak menyangka diperintah begitu. Ia menatapku.

"Iya, sekarang." Kataku berkeras.

Justin mengalah. Ia berdiri, lalu memilih tempat di depan lorong antara barisan meja tempatnya duduk tadi. Ia ambil posisi dan melakukan 10 kali push up itu dengan sempurna. Gantian semua teman-temannya terdiam. Mungkin dalam hati mereka bilang, ibu tega banget.

Lah, iya kan. Siapa suruh tak mendengarkan aku tadi ?

Justin bangkit dengan muka memerah. Dia mengibaskan sweater tipisnya. Ia kepanasan ! Tak tahan lagi, dia melepaskan sweater itu.

Hmm... Adegan yang enggak tau bisa kuklasifikasikan ke kategori mana, yang jelas, aku mulai kebat-kebit.

"Jadi namamu cuma Justin aja ?" Tanyaku. Ia mengangguk.

"Tempat lahirmu di Semayang, di mana itu ? Kayak apa tempatnya ?" Cecarku.

Justin tampak bingung bagaimana menjawab sampai Arief perlu menjelaskan. " Kayak apa tempatnya ? Ada riam apa ndak ?"

Barulah Justin tersenyum dan menjawab, " Semayang itu desa tempat kelahiran mama saya juga."

Duh ! Justin... Kekanakan sekali caranya menjawab.

Kelak di kemudian hari, aku googling tentang Semayang. Itu adalah suatu desa di Kabupaten Sanggau provinsi Kalimantan Barat yang istimewa karena memiliki bendungan Merowi yang dibuat pemerintah pada tahun 1980-an dengan tujuan irigasi persawahan. Mayoritas penduduknya adalah suku asli Kalimantan, yaitu suku Dayak.

Selepas itu, barulah aku memperkenalkan diriku.

Rada pahit sih. Tapi cukup sesingkat-singkatnya saja. Kemudian acara kuakhiri dengan mempersilakan mereka makan gorengan dan minum. Aku segera menghampiri hapeku yang sedang dicas di dekat pintu. Aku ingin memeriksa pesan masuk.

Segera saja mereka menyerbu gorengan dan mencocolkannya ke saus sambal yang sudah ditaruh ke beberapa piring oleh beberapa mahasiswi.

"Ibu, kalau tes Toefl itu habis berapa ?" Tanya Justin tiba-tiba saat tak sengaja aku berdiri di dekatnya.

"Engga tau kalo sekarang. Mungkin lima ratus ribu."

"Waow !" Serunya.

"Emang kenapa sih ?"

"Itu si Arief mau tes PNS, katanya mesti tes Toefl juga."

"Oo.." sahutku.

Si Arief lagi sibuk mengunyah sambil berdiri, makanya aku berbisik rendah di dekatnya , " Makan tuh duduk, pak."
Buru-buru dia cari kursi dan duduk.

Cewek-cewek pada makan bergerombol. Salah satunya menatapku sambil mengunyah. Aku menatapnya balik dan mengirimkan pesan lewat tatapanku itu, yang berbunyi kayak gini :

Iya benar, Justin milikku.

Aneh banget kurasakan, tapi yang terjadi ya begitu.
Ngalir aja. Padahal Justinnya sendiri ga tau apa-apa. Dan aku juga ga ada problem apapun sama dia. Entah kenapa aku jadi mengklaim Justin jadi milikku.

*********
Pada foto, itu air mancur yang ada di komplek Candi Prambanan.

Candi dengan kisah Loro Jonggrang yang melegendakan kata Seribu Candi.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang