18. | One Kiss

16 0 0
                                    

Aku meregangkan punggungku lagi. Pegal sekali rasanya. Mengetik dan mengedit kelanjutan novelku yang kuberi judul Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan selama kurang lebih dua jam ini sangat menguras energi. Tapi rasanya lega, sebab menulis itu akan sangat lancar kalau sedang ada ide. Kalau idenya mentok, mau ngetik apapun pasti tak bisa walau sudah dipaksakan. Kurasa setiap penulis baik yang amatiran kayak aku ini maupun yang udah pro, pasti merasakan hal yang sama.

Perutku yang keroncongan mengajakku jalan ke dapur dan mencari cemilan. Kutemukan seplastik peyek kacang yang tadi pagi kubeli dari ibu penjual jamu keliling. Aku kadang beli jamu sama dia. Seringnya kunyit asam sirih.

Kuseduh secangkir kopi pahit kesukaanku. Merek lokal yang harum dan rasanya solid. Pernah aku mendapatkan hadiah berupa selembar uang lima ribuan dalam bungkusnya yang berwarna hitam. Jadi makin sayang deh sama merek ini.

Bermaksud ganti suasana, aku duduk di ruang tamu. Kunikmati cemilanku sambil memandangi orang lalu lalang di gang depan rumahku ini melalui kaca jendela. Tidak ramai tapi tetap saja ada yang lewat.

"Paket !" Teriak petugas pengantaran paket yang berhenti di depan rumahku yang tak berpagar. Buru-buru kuraih jilbab instan yang tersampir di kursi meja makan, lalu aku keluar menerima paket tersebut.

Setelah mandi dan sholat Ashar aku membuka paketku itu.

Bagus banget daster ini...demikian puji hatiku sendiri setelah membuka paket yang isinya 3 stel daster yang kubeli di toko online seminggu yang lalu.

Aku memilih yang berwarna putih dengan corak bunga kembang sepatu berwarna merah. Bahannya lembut dan modelnya imut sebetis dengan potongan leher segi empat lebar dan lengan pendek yang teruntai. Kata orang jenisnya daster payung.

Langsung kupakai dan bercermin. Berputar-putar layaknya gadis cilik yang dapat baju baru. Aku menertawakan diriku sendiri lalu meraih sapu dan mulai menyapu rumah. Hari ini Sabtu sore, jadwalku membimbing pelajaran untuk adik-adikku di panti khusus Sabtu dan Minggu kosong. Jadi aku biasanya beberes rumah atau mencoba resep masakan atau kue yang sedang kuminati.

Ayunan sapuku bergerak ke ruang tamu. Tak lama terdengar suara motor. Aku menebak itu pasti Justin. Mau kabur ganti baju ke kamar pasti tak keburu. Dia sudah menaiki tangga teras. Dan dia di situ, mematung di teras, dengan jins biru dan kemeja hitam, menatapku tak percaya. Mungkin melihatku dengan tampilan di luar dugaannya.

Aku segera menguasai keadaan.
"Aku ganti baju dulu ya." Kataku sambil berbalik menuju kamar.

"Eh, nggak usah." Sahutnya.

"Gitu aja nggak apa kok." Katanya sambil melepas sepatu dan masuk ke ruang tamu. Justin lalu menghempaskan diri ke sofa dan tersenyum menatapku.
Aku jadi salah tingkah.

"Mau minum apa ?" Tanyaku mengusir rasa gugup.

" Hahaha..." Justin tertawa.

"Kok ketawa sih, kan aku serius nawarin minum.. Kamu kan tamu." Cetusku.

" Nanti aja minumnya. Sini duduk .." Ajak Justin sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Aku lalu duduk di situ. Diam sejenak sambil berusaha menutupi potongan leher daster yang lumayan lebar ini.

Justin tersenyum sementara pandangannya mengarah ke dinding di depan kami. Telunjuk kanannya menggosok-gosok bagian bawah hidungnya.
Ih, ini pose paling mematikan ala Justin.
Aku meraih bantal sofa dan menutupi bagian dadaku.

" Ternyata kamu beda banget ya kalo pake kerudung dengan enggak pake." Gitu katanya.

Aku diam saja. Ada rasa bersalah. Bagaimanapun aku dan dia seharusnya tidak terperangkap dalam situasi ini.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang