"Me, aku mau ke tempat Justin. Kalo mau tidur, ga usah nunggu aku ya. Kunci aja pintunya." Pesanku pada Meme sebelum merisleting jaket. Aku melirik jam tanganku, pukul 21.30. Meme memandangku seolah tak percaya. Senyum nakal menghias wajahnya.
"Serius nih, sama Justin ?" Godanya. Ia tertawa tanpa suara. Takut membangunkan teman sekamar kami. Kami para relawan perempuan semua ditempatkan di mess ini.
"Cuma ketemu aja kok..." Lalu aku beranjak pergi. Kudengar suara pintu dikunci setelah aku menutup pintu.
Dinginnya udara Sanggau ini membuatku merinding, ditambah lagi beberapa daerah yang terbenam banjir. Angin malam meniup hoodie yang sengaja kupakai untuk menutupi jilbabku. Kudekap diriku sendiri demi merasa lebih hangat. Langkahku menuju kantor sekretariat. Markas besar penanggulangan bencana. Sesampainya di sana, aku berdiri saja agak jauh dari pintu karena di dalam masih riuh beberapa lelaki sedang berbincang-bincang.
Salah satunya Justin. Aku dapat melihatnya sedang duduk di pojokan, sedang serius dengan hape, kadang menimpali percakapan. Mereka ditemani beberapa gelas kopi dan beberapa dari para lelaki itu merokok. Mereka tampak tak menyadari kehadiranku hingga aku maju dan berhenti di ambang pintu.
Obrolan langsung terhenti dan semua mata tertuju padaku. Semuanya memasang raut wajah sama yaitu raut wajah keheranan. Dengan senyum dikulum, Justin berdiri dan berpamitan pada yang lain. Kemudian dia menghampiriku. Saat Justin menggandeng jemariku, suit-suitan terdengar begitu riuhnya. Malah ada yang bertepuk tangan.
Justin menggandeng tanganku menjauh dari situ.
"Baby, tanganmu dingin." Katanya sambil menggosok-gosok tanganku. Setelah sekian lama ini, Justin masih memanggilku baby. Walau tadi pagi dalam suasana formal dia memanggil dengan namaku saja.
"Sanggau dingin sekali ya. Beda sama Pontianak." Sahutku.
" Ya, itulah khas daerah sini.
Kamu gak kuat dingin?" Tanyanya. Aku mengangguk." Ayo ke dapur umum." Ajaknya.
" Ngapain Justin ? " Tanyaku heran.
" Nyari kompor biar kamu hangat." Jawabnya. Dia tidak sedang bergurau, hingga rasa heranku pun memudar.
Dan aku menyusul langkahnya yang begitu cepat. Hampir saja kutarik jaketnya, sedetik kemudian ternyata dia sadar aku tak secepat dia. Tangannya kembali menggandeng tanganku.Dapur umum tak jauh dari sekretariat. Untuk memudahkan dropping logistik dan pencatatan. Bentuknya adalah tenda tentara yang digabung dengan bangunan semi permanen. Kalau siang, dinding terpalnya digulung. Namun kini telah diturunkan dan dirapatkan.
Justin berbicara dengan penjaga malam. Sebentar kemudian dia kembali dengan selembar sarung baru."Untukmu." Dipasangkan sarung itu menutupi kepala dan separuh badanku. Aku merasa lebih hangat dan lebih baik. Lalu kami masuk dalam tenda. Justin menarik selembar terpal bersih dan menghamparkannya di atas lantai papan. Posisi kami tak jauh dari beberapa kompor menyala yang sedang merebus air dalam dandang yang besar-besar.
Udara hangat dan nyaman. Aku suka begini. Justin benar, dan dia tahu apa yang kuperlukan saat ini.
Kami duduk selonjoran bersisian, bersandar pada tumpukan karung beras yang menutupi dinding di belakang kami.
Selama beberapa menit kami diam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.Aku merenung, baru saja tadi pagi kami berjumpa lagi setelah entah, mungkin dua tahun kami terpisah. Tanpa kabar. Hanya Justin dan rombongan keluarganya yang menjemput paksa, dan aku dengan dukaku. Malam itu begitu pilu. Kesedihan tertoreh begitu saja. Dan betapa berat hari-hari kulalui hingga hari ini.
Justin merangkul pundakku dengan tangan kanannya, membawaku dekat pada dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...