32. | Janji Untuk Bahagia

8 0 0
                                    

Aku diam membisu. Sungguh hilang semua kekuatanku untuk berkata-kata. Pukulan ini terasa begitu menyakitkan. Masih terngiang di telingaku perkataan ayahnya dan ekspresi wajah ayahnya tadi.
Justin menatapku heran.

"Kamu barusan lihat hantu ya ?" Tanyanya.

Aku menggeleng. Kutatap lemah wajahnya. My Sweet Angel, inikah saatnya ? Saat kita harus memutus segalanya.

Tadi siang sekitar jam 1, saatku bersiap untuk istirahat setelah begitu lelah beraktivitas di sekolah, aku kedatangan tamu.

Tiga orang yang dua diantaranya telah kukenal.
Sepasang suami istri yaitu abang ipar dan kakak Justin, dan satunya lagi ayah Justin.
To the point saja mereka setelah kupersilakan masuk dan duduk di sofa. Ekspresi wajah mereka begitu dingin sehingga aku lupa menyuguhkan minuman.

"Via, " begitu si abang membuka percakapan. Mengingat usianya juga jauh di bawahku, aku merasa ia tidak sopan menyapaku hanya dengan nama. Hanya Justin yang kuizinkan memanggilku dengan namaku saja.

"Kedatangan kami ini karena permintaan ayah, ingin bertemu denganmu." Lanjutnya.

Kulihat kakaknya yang berparas cantik dan mirip Justin itu hanya diam. Sesekali menatapku lalu mengalihkan pandangan ke dinding ruang tamuku yang baru saja didekor ulang oleh Justin. Ada satu bingkai bentuk persegi panjang yang memuat kain tenun khas Dayak berwarna biru tua dan merah. Itu ikat kepala milik Justin. Kupastikan dia mengenali barang itu.

"Ibu Via, " Ayahnya buka suara. Kutatap sang ayah. Mungkin hanya berbeda 10 tahun saja di atasku.

"Saya mengetahui hubungan antara anak saya dengan ibu." Lanjutnya. Perih sekali aku mendengarnya. Apalagi disapa ibu begitu. Seperti menaruh hormat tapi juga menempatkan aku pada posisi yang dia inginkan. Yaitu sebagai terdakwa.

"Kami mengirim Justin ke Pontianak ini dengan harapan dia dapat menuntut ilmu dengan baik supaya nanti bisa pulang dan membangun kampung kami menjadi lebih baik. Kami semua ini memanglah orang yang berasal dari kampung, jadi tidak bisa memahami seperti apa pergaulan di kota ini. Kami mengharapkan agar Justin tidak diganggu selama dia berkuliah dan mencapai gelar sarjana nanti." Ia berhenti sejenak, seperti ingin meresapkan kata-katanya ke dalam kepalaku. Aku yang kesakitan bagai tertombak tepat di jantung, hanya bisa menggigit bibir.

Sang ayah menarik napas sebelum melanjutkan.

" Saya tidak bermaksud menggurui, tapi bukankah lebih baik jika ibu mencari pasangan yang sesuai dengan ibu. Maafkan kata-kata saya, tapi inilah kenyataannya. Justin masih terlalu muda untuk berdampingan dengan ibu."

Pediiih sekali.
Hampir saja airmataku turun. Hampir saja aku membantahnya dengan mengatakan aku takkan mungkin berani melangkah sejauh ini dengan Justin kalau bukan dengan lampu hijau dari Justin sendiri.
Aku bukannya tak punya otak dan perasaan, pak !

Tapi bibir ini terkunci. Aku masih menghargai siapa orang yang berbicara ini. Dia lebih berhak atas Justin daripada aku.

Abang dan kakak Justin masih membisu. Hening, tapi menyayat hati.

"Saya memohon kepada ibu untuk melepaskan Justin selamanya. Tentu kita semua menantikan masa depan yang cerah untuk dia.
Lupakan Justin ya bu. Saya yakin ibu akan berjodoh dengan yang lebih baik."

Memohon, dia memohon.
Aku tidak mengiyakan juga tidak menampakkan penolakan. Membuat daguku tetap tegak untuk saat ini saja adalah perjuangan berat.

"Terima kasih sudah menerima kedatangan kami. Silakan ibu beristirahat, maaf kami sudah mengganggu." Demikian ia berpamitan.

Dan mereka pergi dengan menaiki  Innova warna hitam.

Setelah itu, aku hanya mampu berbaring dan membasahi bantal dengan airmataku. Sampai Justin datang, membuka pintu sendiri karena aku tak juga beranjak menyambutnya.
Dia duduk di lantai samping ranjangku. Dengan posisi ini kepala kami sejajar. Ia jadi bisa menatapku.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang